Senin, 19 Januari 2009

AT TAKATTUL AL HIZBIY

PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK

Sejak abad XIII H (XIX M) telah berdiri banyak gera¬kan untuk membangkitkan umat Islam. Usaha-usaha tersebut sejauh ini belum berhasil, sekalipun memang meninggalkan pengaruh bagi orang-orang sesudahnya untuk mengulangi kembali usaha-usaha tersebut.
Pengamat yang mengikuti perkembangan usaha-usaha tersebut --yakni yang mempelajari gerakan-gerakan tersebut -- melihat bahwa sebab utama kegagalannya terpulang selur¬uhnya pada empat aspek keorganisasian, yaitu:

1. Gerakan-gerakan tersebut berdiri di atas dasarfikrah (konsep) yang umum tanpa batasan yang jelas, sehingga menjadi suatu pemikiran yang samar atau kabur. Lebih-lebih lagi, pemikiran-pemikiran tersebut tidak jelas dan tidak jernih.
2. Gerakan-gerakan tersebut tidak mengetahui thariqah (metode) penerapan fikrahnya, bahkan fikrahnya diterap¬kan dengan cara-cara yang menunjukkan ketidaksiapan gerakan tersebut dan penuh dengan bias. Lebih dari itu, metode gerakan mereka diliputi oleh kekaburan dan ketidakjelasan.
3. Gerakan-gerakan tersebut bertumpu pada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Niat merekapun belum lurus. Bahkan mereka hanyalah orang-orang yang bermodalkan keinginan dan semangat.
4. Orang-orang yang memikul beban tanggung jawab gerakan-gerakan tersebut tidak mempunyai ikatan yang benar. Ikatan di antara mereka hanya sekedar organisasi itu sendiri, yang sekedar memiliki deskripsi tata kerja dari aktivitas yang dilakukan, dan sejumlah istilah yang digunakan sebagai simbol-simbol dan slogan-slogan organisasi.

Oleh karena itu adalah wajar jika kelompok-kelompok tersebut bergerak, dalam batas kesungguhan dan semangat yang ada, sampai akhirnya kesungguhan dan semangat itu habis. Lalu gerakannya jadi padam dan hilang. Kemudian muncul gerakan lain, dengan orang yang berlainan. Mereka pun mengulangi apa yang telah dilakukan oleh para aktivis sebelumnya, sampai akhirnya hilang pula semangat dan kesungguhan mereka pada batas-batas tertentu. Demikianlah hal ini terjadi berulang-ulang.
Kegagalan semua gerakan ini adalah suatu yang wajar. Sebab, gerakan-gerakan tersebut tidak berdiri di atas fikrah yang benar dan batasan yang jelas. Di samping itu, gerakan-gerakan tersebut tidak mengetahui thariqah yang lurus, tidak bertumpu pada orang-orang yang mempunyai kesadaran penuh, dan juga tidak diikat oleh suatu ikatan yang benar. Ketidak benaran dan ketidak jelasan fikrah dan thari¬qahnya, tampak jelas dalam kesalahan-kesalahan falsafah (pemikiran dasar) yang menjadi dasar gerakan-gerakan ini, kalau pun mereka mempunyai falsafah itu. Gerakan-gerakan tersebut ada yang berupa harakah Islamiyah (gerakan Islam), dan ada pula yang berupa harakah qaumiyah (gerakan kebangsaan atau nasionalisme). Para aktivis gerakan Islam menda'wahkan Islam dalam bentuk terlalu umum atau dalam suatu penyajian tanpa suatu kerangka pemikiran yang jelas. Mereka berusaha menginterpretasikan Islam agar sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada saat itu, atau dengan mencocok-cocokan Islam agar sesuai dengan sistem/peraturan selain Islam yang akan mereka ambil, sehingga Islam cocok diterapkan atasnya. Dengan demikian, penakwilan itu akhirnya mereka jadikan alasan untuk mempertahankan atau menerima kondisi yang ada.

Adapun mereka yang bergerak dalam gerakan kebangsaan (nasionalisme), maka orang-orang Arab menyerukan kebangki¬tan bangsanya atas dasar nasionalisme yang kabur dan tidak jelas, tanpa memandang Islam dan Muslimin. Mereka mempro¬pagandakan slogan-slogan kebangsaan, ketinggian martabat dan kehormatan bangsa Arab, kearaban, nasionalisme Arab, kemerdekaan dan sejenisnya, tanpa memahami maknanya dengan jelas, yang sesuai dengan hakikat kebangkitan. Sedangkan orang-orang Turki menyerukan kebangkitan Turki atas dasar kebangsaan Turki. Para propagandis nasionalisme Turki maupun Arab bergerak sesuai dengan arahan penjajah, seba¬gaimana mereka mengarahkan kawasan Balkan, juga dengan gerakan nasionalisme, melepaskan diri dari Daulah Utsma¬niyah yang merupakan Daulah Islamiyah (negara Islam).
Di negeri-negeri Arab sendiri, para aktivis dua macam gerakan tersebut mengadakan polemik di koran-koran dan majalah-majalah, untuk mencari ide mana yang lebih utama, dan lebih dekat kepada kebenaran dan kesuksesan, Jaamiah Qoumiyah (Pan Arabisme atau Jaamiah Islamiyah (Pan Isla¬misme). Kedua gerakan tersebut, sekalipun telah berusaha keras dan menghabiskan waktu yang panjang, namun belum juga membawa hasil. Karena kedua macam gerakan ini, Pan Arabisme dan Pan Islamisme, dalam kenyataannya, merupakan rancangan penjajah untuk memalingkan perhatian umat dari Negara Islam. Oleh sebab itu, kegagalan-kegagalan mereka bukan hanya terbatas pada kegagalan saja, tetapi lebih dari itu ia telah menjauhkan Negara Islam dari mata dan ingatan kita kaum Muslimin.
Di samping gerakan kebangsaan (nasionalisme) dan gerakan Islam, berdiri pula gerakan-gerakan patriotisme di berbagai negeri Islam sebagai reaksi dari pendudukan orang-orang kafir penjajah atas sebagian wilayah Negara Islam; serta sebagai reaksi atas kezaliman politik dan ekonomi yang terjadi di masyarakat yang disebabkan oleh penerapan sistem kapitalis atas mereka di negeri-negeri tersebut.
Sekalipun gerakan-gerakan tersebut muncul sebagai reaksi dari berbagai penderitaan-penderitaan tersebut, sebagiannya masih memiliki aspek-aspek Islam yang dominan, sebagiannya lagi didominasi hanya oleh aspek patriotisme sebagai kelanjutan dari gerakan-gerakan yang dirancang dan diada-adakan oleh penjajah. Akibat gerakan ini, umat telah terdorong dan disibukkan dengan perjuangan murahan yang justru menguatkan pijakan musuh. Apalagi gerakan-gerakan tersebut tidak mempunyai atau kekurangan pemikir¬an-pemikiran yang mesti mereka terapkan.
Kami meyakini bahwa falsafah (prinsip) kebangkitan yang hakiki adalah sebuah mabda' (ideologi) yang mengga¬bungkan fikroh dan thoriqoh secara terpadu. Idiologi tersebut adalah Islam. Sebab, Islam adalah sebuah aqidah yang memancakan sebuah sistem untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat, dan mampu memecahkan seluruh masalah kehidupan.
Sekalipun Islam itu adalah suatu sistem yang univer¬sal, tetapi thoriqohnya (metodenya) tidak mengharuskan memperjuangkannya secara universal sejak awal. Islam memang mesti didakwakan secara universal (ke seluruh dunia), tetapi harus ada majalud dakwah (daerah gerakan)nya terlebih dahulu, di suatu negeri atau di beberapa negeri sampai Islam kuat dan berkuasa di negeri tersebut. Kemudian Negara Islam akan berdiri, meluas secara alami sampai meliputi seluruh negeri Islam pada tahap pertama. Kemudian Negara Islam tersebut akan men¬gemban Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagai suatu risalahnya, sebagai suatu risalah kemanusiaan yang univer¬sal dan abadi.
Sesungguhnya seluruh dunia adalah tempat yang layak untuk dakwah Islam. Namun demikian karena negerei-negeri Islam penduduknya beragama Islam, maka dakwah harus dimu¬lai di sana. Dan karena negeri-negeri Arab sebagai bagian dari negeri Islam yang menggunakan bahasa Arab, sementara bahasa arab adalah bagian penting dalam Islam dan unsur pokok dari tsaqofah Islam, maka negeri yang diutamakan untuk memulai dakwah di dalamnya adalah negeri-negeri Arab. Harus ada penyatuan potensi arab dengan potensi Islam sehingga bahasa Arab menyatu dengan Islam, karena pada keduanya terdapat kekuatan untuk menjadikan Islam berpengaruh meluas dan menyebarke seluruh dunia Islam. Oleh karena itu adalah wajar jika , pada awalnya, Negara Islam itu berdiri di negeri-negeri Arab sebagai suatu titik sentral negara itu, yang kekuasaannya meliputi selu¬ruh negeri Islam. Sekalipun suatu keharusan untuk menda'¬wahkan Islam di negeri-negeri Arab, tetapi juga merupakan keharusan untuk menyampaikan dakwah ke negeri-negeri Islam yang bukan arab. Dan memulai kegiatan da'wah Islam di negeri-negeri Arab bukan berarti tak ada gerakan di daerah lain sebelum terjadi penyatuan negeri-negeri tersebut ke dalam Negara Islam. Berakan dimulai di negeri-negeri Arab dengan tujuan untuk mendirikan Negara Islam yang kemudian tumbuh dan meluas ke sekelilingnya tanpa melihat arab dan non-arab.
Telah kami jelaskan bahwa falsafah hakiki menuju kebangkitan umat adalah suatu mabda' yang menggabungkan fikroh dan thariqoh. Kedua hal ini harus dipahami oleh setiap kelompok yang bertujuan untuk melakukan kegiatan secara serius yang akan membawanya pada kebangkitan.
Mabda itu telah dijelaskan dan pentingnya ia bagi suatu kutlah adalah mudah dipahami. Oleh karena itu adalah wajar bila harus ada kejelasan yang tuntas tentang mabda tersebut bagi sebuah kutlah, agar kutlah yang telah lebih dahulu memahaminya bisa menjadi sebuah kutlah yang berpen¬garuh, dinamis dan maju, layak untuk diikuti dan didukung oleh masyarakat. Karena ia merupakan satu kutlah yang telah melebur dengan fikrohnya, jelas thariqohnya dan memahami permasalahan-permasalahannya.
Hanya saja semata-mata adanya pemahaman tentang mabda ini tidak akan dapat menghantarkan pada kebangkitan yang benar kecuali jika orang-orang yang aktif dalam gerakan layak memasuki kutlah tersebut, dan ikatan yang mengikat mereka dalam kutlah adalah suatu ikatan yang benar dan produktif. Berdasarkan ikatan dalam kutlah ini pula dapat ditentukan kelayakan seseorang untuk ikut gerakan. Maka suatu partai idiologis (berdasarkan pada suatu mabda') menjadikan keyakinan terhadap akidahnya dan kematangan dalam tsaqofah kepartaiannya sebagai ikatan dalam kutlahn¬ya. Oleh karena itu apakah seseorang layak masuk dalam partai atau tidak terjadi secara alami, yaitu dengan meleburnya mereka dalam partai ketika dakwah berinteraksi dengan mereka. Jadi yang menentukan kelayakan mereka adalah thariqoh ikatan kutlah tersebut, bukan lembaga partai. Sebab, ikatan yang menyatukan orang-orang tersebut dalam suatu kutlah adalah aqidah dan tsaqofah kepartaian yang terpancar dari aqidah tersebut.
Apabila kita kaji pengorganisasian gerakan-gerakan yang muncul sekitar abad silam, maka kita dapatkan bahwa thariqoh pengorganisasian yang rusaklah yang merupakan sebab utama kegagalan mereka. Sebab, gerakan-gerakan tersebut tidak berdiri atas dasar kepartaian yang dilanda¬si oleh pemahaman hakiki. Mereka berdiri hanya sekedar membentuk kelompok, atau membentuk partai semu1). Artinya hanya namanya saja partai, tetapi tidak memenuhi syarat-syarat sebuah partai.
Kaum Muslimin, sebelum Perang Dunia (PD) I merasa bahwa mereka mempunyai sebuah Negara Islam. Sekalipun Negara ini telah lemah dan mengalami kekacauan, ia tetap menjadi pusat arahan pemikiran dan perhatian umat. Orang-orang Arab memandang negara ini sebagai penghancur hak-hak mereka, berkuasa totaliteris atas mereka, tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga mengarahkan mata dan hati mereka padanya untuk memperbaikinya karena bagaimanapun negara ini adalah negara mereka. Mereka ini, hanya, tidak memahami hakikat kebangkitan, tidak memahami thoriqoh kebangkitan itu, dan mereka tak punya suatu kelompok apapun untuk itu. Dan kita bisa mengatakan bahwa hal ini dialami oleh sebagian besar kaum Muslimin.
Selain itu pada abad ini, tsaqofah asing telah men¬yerang negeri-negeri Islam. Dengan tsaqofah itu para penjajah mampu menarik ke pihak mereka sekelompok kaum Muslimin, mendorong mereka untuk mendirikan takatulaat Hizbiyah (kelompok-kelompok politik) di dalam wilayah Negara Islam. Kelompok-kelompok ini berdiri untuk memi¬sahkan dan memerdekakan negeri mereka dari negara Islam. Penjajah juga mampu, dengan cara tertentu, menarik ke pihak mereka sekelompok orang-orang Arab yang mereka kumpulkan di Paris (Perancis) untuk membentuk suatu kutlah (kelompok) yang bertugas memerangi Daulah Ustmaniyah, dengan slogan "Memerdekan Arab" dari Negara Islam ini. Mereka telah disatukan oleh tsaqofah asing, pemikiran-pemikiran asing, perasaan kebangsaan dan patriotisme yang telah dihembuskan oleh kafir penjajah pada mereka. Oleh karena itu ikatan yang berdasarkan akal dan perasaan sajalah yang menyatukan mereka. Mereka disatukan dalam satu pemikiran yang mengantarkan mereka pada satu tujuan yaitu kemerdekaan bagi rakyat Arab. Selama Daulah Utsma¬niah mengabaikan kepentingan mereka, berbuat zalim terha¬dap mereka, memakan hak-hak mereka, maka tujuan yang satu inilah yang menyatukan mereka dalam suatu kelompok politik semu itu. Semua ini telah mengantarkan mereka pada persia¬pan Revolusi Arab. Sebagai hasilnya adalah semakin besarn¬ya kekuasaan kafir dan penjajah atas negeri-negeri Islam, tak terkecuali negeri-negeri Arab. Dengan demikian sele¬sailah tugas kelompok-kelompok tadi. Penjajah kemudian membagi-bagi ghanimah (rampasan perang), wujudnya adalah lahirnya penguasa-penguasa di negeri-negeri Islam yang merupakan agen-agen para penjajah itu.
Setelah eksistensi Negara Islam itu sirna, maka penjajah lansung menggantikan posisinya. Mereka memerintah negeri-negeri Arab secara langsung, dan memperluas kekua¬saannya ke seluruh negeri-negeri Islam. Maka secara prak¬tis mereka benar-benar telah menduduki negeri-negeri Arab dan mulai menancapkan kekuasannya pada setiap bagian pada wilayah ini, dengan cara-cara yang tersembunyi dan kotor. Yang terpenting dari cara-cara itu adalah dengan menyebar¬luaskan tsaqofah asing penjajah itu, uang dan antek-antek mereka.
Tsaqofah asing mempunyai pengaruh besar dalam men¬guatkan kekufuran dan penjajahan, tidak berhasilnya ke¬bangkitan umat, gagalnya gerakan-gerekan terorganisir baik gerakan sosial maupun gerakan politik. Sebab tsaqofah berpengaruh besar terhadap pemikiran manusia , yang kemu¬dian mempengaruhi perjalanan hidupnya. Para penjajah tersebut merancang sistem pendidikan dan tsaqofah atas dasar falsafah yang jelas, sesuai dengan pandangan hidup mereka, yaitu memisahkan materi dari ruh dan memisahkan agama dari negara. Penjajah juga menjadikan kepribadian mereka sebagai satu-satunya tolak ukur tsaqofah kita. Mereka juga menjadikan hadloroh, mafahim , struktur negara mereka, sejarah dan lingkungan mereka sebagai tolak ukur untuk otak kita. Tidak sampai disitu, mereka bahkan menjadikan pemutarbalikan fakta dalam menanamkan kepriba¬dian mereka, mereka membalikkan gambaran penjajahan sede¬mikian rupa agar kita anggap mulia, yang harus kita ikuti, dan suatu tatanan kuat di mana kita harus berjalan bersa¬manya, dengan menyembunyikan tanpang penjajahan yang sebenarnya dengan cara-cara yang kotor. Mereka terus ke detail-detail permasalahan, sampai tak satupn yang keluar dari prinsip umum yang mereka rencanakan. Oleh karena itu kita terdidik dengan tsaqofah yang merusak, kita telah belajar - secara alami - cara orang lain berfikir, Hal telah menjadikan kita lemah untuk belajar bagaimana sehar¬usnya kita berpikir, karena pemikiran kita tidak lagi berhubungan dengan lingkungan kita. Kepribadian kita, sejarah kita, tidak lagi bersandar pada mabda' kita. Oleh karena itu, jadilah kita - karena telah terdidik seperti itu - suatu kelompok asing ditengah-tengah rakyat, tidak lagi memahami keadaan kita, dan kebutuhan-kebutuhan rakyat kita. Dengan demikian, perasaan orang-orang terpelajar terpisah dari pemikiran dan akal rakyat mereka, dan jadi¬lah mereka - secara alami - orang-orang yang terpisah dari umat, perasaan umat dan kecenderungan umat. Dan pemikir¬an-pemikiran semacam ini - secara alami - tidak menghasil¬kan pemahaman yang benar tentang kondisi-kondisi negeri Islam tersebut. Pemikiran ini juga tidak bisa menghasil¬kan pemahaman yang benar tentang sebuah thariqoh kebangki¬tan umat. Sebab, pemikiran semacam ini merupakan pemikir¬an yang terpisah dari perasaan, walaupun tidak kosong sama sekali dari perasaan umat. Di samping itu, pemikiran semacam ini merupakan pemikiran asing yang dipunyai oleh seseorang yang memiliki perasaan Islam. Dengan demikian adalah wajar jika pemikiran ini tidak bisa membentuk suatu kutlah yang benar yang mempunyai pemahaman yang benar.
Pengaruh tsaqofah asing ini tidak hanya terbatas pada kaum terpelajar itu saja, tetapi merata dalam masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya, pemikiran-pemikiran ma¬syarakat pun terpisah dari perasaannya. Persoalan dalam masyarakat menjadi bertambah ruwet, dan beban kelompok politik yang benar untuk membangkitkan umat semakin berat. Persoalan yang dihadapi umat dan partai Islam sebelum PD I adalah membangkitkan suatu masyarakat Islami. Sekarang, persoalannya adalah bagaiamana menciptakan keserasian antara pikiran dan perasaan dikalangan kaum terpelajar, menciptakan keserasian antara individu masyarakat dan jamaa'ahnya dalam suatu pemikiran dan perasaan, tak terke¬cuali antara kaum terpelajar dengan masyarakatnya. Kaum terpelajar telah menerima pemikiran-pemikiran asing dengan sepenuh hati, tetapi tanpa mengambil perasaan-perasaannya. Penerimaan mereka yang sepenuh hati itu telah memisahkan mereka dari masyarakat, juga telah mengakibatkan mereka memandang rendah dan tak perduli terhadap masyarakat. Pemikiran asing itu juga telah membuat mereka kagum dan hormat terhadap orang asing, mereka berusaha mendekatkan diri dan bergaul erat dengan orang-orang asing itu. Oleh karena itu kaum terpelajar semacam ini tak mungkin dapat memandang berbagai situasi yang ada di negerinya kecuali dengan mengikuti orang asing tersebut dalam memandang situasi negerinya tanpa memahami hakikat situasi sebenarn¬ya. Oleh karena itu mereka tidak lagi mengetahui apa yang dapat membangkitkan umat, kecuali dengan mengikuti orang asing tersebut ketika mereka membicarakan kebangkitan. HAti nurani kaum terpelajar semacam ini tidak tergerak karena dorongan mabda' tetapi tergerak karena rasa patri¬otisme dan kerakyatan/kebangsaan, dan ini merupakan gera¬kan yang salah. Dengan demikian ia tidak akan berjuang demi negerinya dengan benar, dan ia tidak berkorban untuk kepentingan rakyat secara sempurna. Karena perasaannya, dalam melihat situasi negerinya, tidak dilandasi oleh pemikiran Islam, dan ia juga tidak menangkap kebutuhan-kebutuhan rakyatnya dengan perasaan yang dilandasi pemi¬kiran Islam. Kalaupun kita memaksakan diri untuk mengata¬kan bahwa ia berjuang menuntut suatu kebangkitan, maka sesungguhnya perjuangannya itu lahir dari pertarungan untuk suatu kepentingan khusus atau suatu perjuangan yang meniru-niru perjuangan rakyat lain. Oleh karena itu perjuangannya tak akan bertahan lama, hanya sampai halan¬gan-halangan untuk merebut kepentingannya sudah tak ada lagi, dengan diangkatnya ia menjadi pegawai atau nafsunya telah terpenuhi, atau penentangannya itu pudar karena kepentingan pribadi terganggu atau ia disiksa ketika berjuang.
Hal-hal seperti ini tidak mungkin melahirkan sebuah kutlah yang benar kecuali setelah lebih dahulu diselesai¬kan masalah tersebut, dengan penyelarasan pemikiran dan perasaannya, dengan mendidiknya mulai dari awal dengan tsaqofah idiologis. Penyelesaian semacam ini mengharuskan seorang murid untuk membentuk pemikirannya dengan suatu bentuk yang baru. Setelah menyelesaikan masalah ini baru beralih kepada penyeserasian antara dia dan masyarakatnya. Dengan demikian akan memudahkan penyelesaian problema kebangkitan umat. Seandainya tidak ada tsaqofah asing di negeri-negeri Islam tentu beban kebangkitan lebih ringan dari apa yang kita alami sekarang.
Atas dasar itu maka mustahil, dengan adanya tsaqofah asing dalam masyarakat, untuk membentuk sebuah kekompok politik yang benar, dan juga tidak akan terwujud atas dasar tsaqofah asing tadi kutlah yang benar semacam ini.
Penjajah tidak sekedar menggunakan tsaqofah saja bahkan mereka racuni masyarakat Islam dengan pemikiran dan pandangan politik, dan falsafah yang merusak pandangan hidup kaum Muslimin. Dengan itu mereka rusak suasana Islami yang ada serta mereka kacaukan pemikiran dan selur¬uh segi kehidupan kaum muslimin.
Dengan semua itu, hilanglah titik sentral pertahanan kaum Muslimin yang alami. Penjajah memanfaatkan setiap kesempatan untuk menciptakan gerakan yang berbahaya dan seling bertentangan, menyerupai gerakan binatang yang disembelih yang berakhir dengan kematian, keputusasaan dan menyerah pada keadaan. Dan orang-orang asing ini berusaha sungguh-sungguh menjadikan kepribadian mereka sebagai mercusuar tsaqofah kita, menggunakannya dalam aspek poli¬tik, menjadikan kiblat pandangan para politikus atau orang yang bergerak dalam bidang politik. Oleh karena itu seba¬gian besar kutlah, tanpa disadari, berusaha meminta bantuan kepada orang-orang asing. Maka diberbagai negeri muncullah orang-orang yang meminta bantuan kepada negara-negara asing tanpa menyadari bahwa setiap permintaan bantuan kepada orang asing dan mengandalkan kekuatan asing, apapun bentuknya, adalah suatu racun dan pengkhia¬natan bagi umat Islam, walaupun niat yang baik. Mereka tidak menyadari bahwa mengikatkan masalah kita dengan orang selain kita adalah bunuh diri politis. Oleh karena itu tidak mungkin mereka berhasil mendirikan suatu kutlah apapun jika pemikirannya diracuni dengan penyerahan diri atau mengantungkan diri pada orang asing.
Demikian pula para penjajah telah meracuni masyarakat dengan paham kebangsaan (nasionalisme), patriotisme, sosialisme, sebagaimana mereka juga telah meracuni masyar¬akat dengan paham kedaerahan yang sempit. Panjajah telah menjadikan semua itu sebagai sumbu putar aktivitas-aktivi¬tas temporer. Demikian juga masyarakat diracuni dengan kemustahilan berdirinya Daulah Islam dan kemustahilan persatuan dan kesatuan negeri-negeri Islam dengan adanya perbedaan kultur, penduduk dan bahasa, sekalipun mereka merupakan suatu umat yang terikat dengan aqidah Islam yang terpancar darinya sistem Islam. Selain itu mereka juga meracuni masyarakat dengan konsep politik yang keliru seperti Slogan: "Ambillah dan Mintalah;" "rakyat adalah sumber kekuasaan;" "kedaulatan di tangan rakyat;" dan lain-lain sebagainya. Mereka juga meracuni masyarakat dengan pemikiran-pemikiran yang salah seperti slogan: "Agama milik Allah, tanah air milik semua orang", Kita dipersatukan oleh penderitaan dan harapan", "Tanah air di atas segalanya", "Kemuliaan bagi tanah air", dan seje¬nisnya. Mereka juga meracuni masyarakat dengan pendapat-pendapat pragmatis yang klasik, seperti: " "Sesungguhnya kita menggali sistem kita dari kenyataan hidup kita", "Rela dengan kenyataan atau apa yang ada", "Kita harus realistis", dan sejenisnya.
Akibat racun-racun semacam ini masyarakat di negeri-negeri Islam, termasuk negara-negara Arab, berada pada suatu keadaan yang tidak mendukung dan memungkinkan ber¬dirinya suatu kutlah yang benar. Oleh karena itu bukan hal yang aneh bila kutlah-kutlah politik semu ini mengala¬mi kegagalan. Sebab, kutlah-kutlah tersebut tidak berdiri atas pemikiran yang mendalam, yang melahirkan nidzom (sistem) yang tepat, yang mampu memperbanyak orang-orang mempercayainya, bahkan ada yang berdiri tanpa dasar sama sekali.
Akibat semua itu adalah wajar jika partai-parati politik yang ada di dunia Islam saat ini, tak terkecuali di negeri Arab, menjadi partai-partai yang terpecah belah. Sebab, parati-partai tersebut tidak berlandaskan pada suatu mabda'. Orang-orang yang mengamati partai-partai ini melihat bahwa kadangkala partai-partai tersebut berdiri karena peristiwa-peristiwa sesaat, dilahirkan oleh situasi yang mengharuskan berdirinya kelompok politik. Maka setelah situasi ini teratasi lenyap pulalah partai tersebut atau melemah atau terpecah belah. Kadangkala kutlah-kutlah ini berdiri atas dasar persahabatan antar beberapa orang, mereka diikat oleh persahabatan itu. Maka berkelompok atas dasar persahabatan, dan kelompok ini akan bubar jika mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Ada pula kutlah yang berdiri karena kepentingan-kepentingan kontemporer dari orang-orang tertentu. Dengan demikian tidak ada pada orang-orang ini, dalam berbagai situasi dan kondisi masyarakat, suatu ikatan politis idiologis. Maka keberadaannya bukan saja tidak berman¬faat, bahkan membahayakan umat. Di samping itu adanya kutlah-kutlah tersebut di tengah-tengah masyarakat mengha¬langi keberadaan sebuah partai yang benar, atau menunda munculnya sebuah partai yang benar. Kutlah-kutlah terse¬but juga menanamkan keputusaasaan dalam jiwa masyarakat, memenuhi hati masyarakat dengan noda hitam dasn keragu-raguan, dan menghembuskan kecurigaan terhadap haraqah hizbiyah (gerakan politik), sekalipun gerakan ini adalah sebuah gerakan yang benar. Kutlah-kutlah tersebut juga menyuburkan perselisihan individu, kedengkian-kedengkian golongan, dan mengajarkan pada masyarakat cara-cara bersa¬ing yang tidak benar, dan selalu berbuat atas dasar manfaat. Dengan kata lain, kutlah-kutlah semacam ini akan merusak tabiat masyarakat yang bersih, memper-berat beban kelompok politik yang benar. Padahal partai-partai Islam harus lahir dari ketinggian tabiat/perilaku masyarakat.
Disamping gerakan Islam, nasionalisme dan patriotisme berdiri pula gerakan-gerakan komunis yang berlandaskan pada materialisme. Gerakan ini sejalan dengan gerakan komunis di Rusia, dan bergerak sesuai dengan arahan Rusia. Thoriqoh (metode) gerakannya adalah dengan cara merusak dan menghancurkan negeri tempat gerakan. Diantara tu¬juannya, disamping menciptakan komunisme di negeri terse¬but, juga mengacaukan penjajahan barat demi kepentingan blok timur, dimana orang-orang yang bergerak didalamnya merupakan agen-agen Timur. Gerakan ini tidak mampu berin¬teraksi dengan umat dan tidak banyak berpengaruh. Adalah suatu kewajaran jika gerakan ini gagal, karena ia berten¬tangan dengan fitrah manusia dan menyalahi aqidah Islam. Patriotisme juga telah mencoba memaksakan kehendaknya. Dan kesulitan masyarakat telah berlipat ganda menjadi kesuli¬tan besar yang membuat masyarakat itu sangat kepayahan (keblinger).
Di samping gerakan-gerakan tersebut di atas, berdiri pula gerakan atas dasar Jam'iyah1) (gerakan massa). Di berbagai negeri muncul organisasi lokal dan regioanl yang mengarah pada tujuan khoiriyah (kebajikan). Organisasi-organisasi ini kemudian mendirikan sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, panti-panti asuhan, dan membantu aktivitas perbaikan dan sosial. Masing-masing organisasi ini meno¬njolkan kelompoknya. Para penjajah telah berhasil mendor¬ong organisasi-organisasi semacam ini sehingga kegiatan sosialnya terlihat jelas oleh masyarakat. Sebaggian besar organisasi ini bergerak di bidang pendidikan dan sosial, sangat jarang gerakannya bersifat politik.
Jika kita perhatikan hasil-hasil organisasi-organisa¬si ini dengan mata jeli kita akan temukan bahwa ia tidak membuahkan suatu yang bermanfaat bagi umat atau membantu umat untuk bangkit. Bahayanya tersamar karena tak dapat dilihat kecuali oleh orang yang jeli, di samping itu keberadaanya itu sendiri merupakan bahaya besar; tanpa melihat manfaat parsial yang ditimbulkannya. Hal ini karena umat Islam secara keseluruhan - karena masih mem¬punyai sebagian pemikiran-pemikiran Islam, diterapkannya sebagian hukum syara', terpatrinya perasaan Islam pada pada mereka karena pengaruh Islam - mempunyai keinginan untuk bangkit, mempunyai perasaan yang baik, mempunyai kecendrungan alami untuk berkelompok. Sebab, ruh Islam itu adalah ruh Jama'ah. Maka jika umat dibiarkan mengurus dirinya sendiri, getaran atau perasaan berkelompok ini secara otomatis akan berubah menjadi pemikiran, dan pemi¬kiran ini secara praktis akan membangkitkan umat. Akan tetapi adanya berbagai organisasi ini menghalangi kebang¬kitan. Sebab, organisasi ini telah menjadi saluran dari perasaan-perasaan mereka yang menggelora, dan organisasi ini telah mengalihkan keinginan umat pada aktivitas-ak¬tivitas parsial.
Para anggota organisasi ini melihat bahwa mereka telah membangun sekolah-sekolah, atau mendirikan rumah sakit, atau berpartipasi dalam amal baik, maka mereka lega, tentram dan puas dengan kegiatan-kegiatan yang telah mereka lakukan. Berbeda seandainya organisasi-organisasi semacam ini tidak ada, maka semangat jama'ah akan mendor¬ongnya untuk berkelompok secara benar, yaitu dengan mem¬bentuk sebuah kelompok politik yang akan melahirkan ke¬bangkitan yang benar.
Disamping berbagai organisasi pendidikan dan sosial berdiri pula organisasi berdasarkan akhlak yang berusaha membangkitkan umat atas dasar akhlak melalui nasehat-nasehat, pidato-pidato, selebaran-selebaran dengan suatu .lh12
anggapan bahwa akhlak merupakan dasar kebangkitan. Organ¬isasi-organisasi ini telah mengerahkan tenaga dan dana yang tidak sedikit, namun tidak mendatangkan hasil yang berarti. Perasaan umat tersalur melalui pembicaraan-pembi¬caraan
____________________

1)Jam'iyah adalah suatu organisasi yang memngkhususkan kegiatannya pada bidang tertentu.
yang membosankan yang diulang-ulang dan tiada arti. Organ¬isasi-organisasi .lh11
semacam ini berdiri atas pemahaman yang keliru terhadap firman Allah yang ditujukan kepada pribadi Rasul SAW "Sesungguhnya Engkau memiliki akhlak yang mulia(Nun : ), padahal firman Allah ini adalah penggambaran sifat pribadi Rasul dari Allah, bukan sifat bagi masyarakat. Dan juga karena pemahaman yang keliru terhadap sabda Nabi SAW Sesungguhnya allah mengutusku untuk menyempurnakan Akhlak" (HR.........) dan sabdanya (Sesunggunya aku diutus untuk menyempurnkankan akhlak(......). Padahal dua hadits ini dan yang sejenisnya berkai tan dengan sifat individu bukan bagi sifat jama'ah. Mereka juga telah keliru menggunakan suatu syair yang salah.

Dan sesungguhnya bangsa-bangsa itu ditentukan oleh akhlaknya jika mereka telah kehilangan akhlaknya maka merekapun akan sirna.


Sementara umat atau bangsa-bangsa tidak lahir atau tegak karena akhlak namun keberadannya dengan aqidah yang dianutnya, pemikiran yang diembannya, dan sistem yang diberlakukannya. Organisasi semacam ini juga muncul akibat pemahaman yang salah terhadap arti masyarakat, bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu sementara masyarakat itu satu kesatuan yang terdiri dari: manusia, pemikiran, perasaan dan sistem, dan kehancuran masyarakat tidak lain adalah akibat dari rusaknya pemikiran, perasaan dan sistem bukan dari kerusakan manusia-manusianya dan untuk memperbaikinya tidak lain hanya dengan memperbaiki pemikiran, perasaan, dan sistem itu. Demikian pula kesa¬lahan itu terletak pada kesimpulan pemikiran bagi sebagian besar orang-orang yang ingin memperbaiki keadaan, dan para ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya kelompok yang bisa merusaknya adalah individu, dan yang dapat membangun dan menghancurkan individu-individu adalah akhlaknya. Maka dengan akhlak yang lurus ia akan menjadi kuat, kon¬sisten, berdaya guna, produktif, yang berfungsi untuk kebaikan dan ishlah/perbaikan. Sementara akhlak yang buruk menjadikannya lemah tidak diperhitungkan dan tidak ada yang dapat diambil manfaat, tidak ada kebaikan di dalamnya. Baginya tidak ada tujuan lain dalam kehidupan kecuali memenuhi syahwat dan mengikuti egonya. Atas dasar ini maka mereka berpendapat bahwa untuk memperbaiki ja¬ma'ah tidak lain dengan jalan memperbaiki individu, maka mereka menghendaki perbaikan masyarakat denagn pola akhla¬ki dan melalui akhlak itulah akan membangkitkan masyara¬kat.
Walaupun seluruh harokah-harokah Islahiah yang bera¬saskan akhlaqiah telah gagal tetapi orang-orang masih tetap berkeyakinan bahwa kaidah-kaidah inilah yang menjadi dasar perbaikan. Mereka tetap mendirikan berbagai lembaga ishlahiah atas asas yang sama sekalipun pada kenyataannya bahwa cara perbaikan jama'ah tidak sama dengan alat per¬baikan individu, walau individu merupakan bagian dari jama'ah sebab rusaknya jama'ah berasal dari rusaknya perasaan jama'ah dan rusaknya suasana (alam) fikir dan semangat juga diakibatkan adanya pemahaman-pemahaman yang keliru di kalangan jama'ah dengan kata lain berasal dari rusaknya kebiasaan umum. Dan untuk memperbaikinya tidak lain kecuali dengan menciptakan kebiasaan umum yang baik. Dengan kata lain tidak ada perbaikan kecuali dengan mem¬perbaiki perasaan jama'ah. Dan menciptakan suasana ru¬hiyah yang benar dan suasana pemikiran yang berkaitan dengan aspek ruhiyah. Dan pelaksanaan sistem dari negara. Itu semua tidak akan berhasil kecuali dengan menciptakan suasana Islami dan ini mengharuskan adanya pelurusan pemahaman terhadap berbagai hal di tengah manusia secara keseluruhan
dengan demikian jama'ah jadi baik dan individupun jadi baik. Itu semua tidak akan berhasil dengan berkelompok atas dasar jam'iyah.

Juga tidak akan berhasil dengan menjadikan akhlak, nasehat dan bimbingan sebagai dasar dari kutlah. Inilah pangkal kegagalan semua kutlah yang berasaskan jam'iyah dalam membangkitkan dan memperbaiki umat. Demikian pula kegagalan yang dialami kutlah yang berbentuk partai semu (dasar kepartaian tidak benar atau tidak lengkap), yang tidak dibangun atas dasar mabda tertentu dan tidak dilatar¬belakangi suatu mafhum apapun dan tidak mengikat anggotanya dengan ikatan yang benar.
Perlu diketahui bahwa kegagalan seluruh kutlah ini juga terjadi karena faktor manusia atau individunya. Sebab dis¬amping pembentukannya bukan atas dasar pembentukan kutlah yang benar (karena tidak adanya fikrah dan thariqah atau karena kesalahan thariqah), juga bergabungnya orang-orang dalam kutlah tidak didasarkan pada kelayakan individu itu sendiri, tetapi berdasarkan kedudukan orang tadi di masyara¬kat dan kemungkinan mendatangkan manfaat yang cepat dari keberadaannya dalam partai atau jam'iyah.
Kadangkala seseorang direkrut atas dasar bahwa ia adalah pemimpin kaumnya atau kekayaannya dalam masyarakat, atau karena ia seorang dokter, arsitek, atau mempunyai kedudukan dan pengaruh tanpa mempertimbangkan apakah ia layak menjadi anggota kutlah atau tidak. Oleh karena itu yang menonjol dari kutlah-kutlah yang semacam ini adalah persaingan antara anggota-anggotanya atau persaingan untuk menduduki jabatan kepemimpinan. Akibatnya, dalam hati anggota-anggota partai ini muncul semacam perasaan bahwa mereka lebih utama atau berbeda dari yang lain, bukan karena peran dan kepemimpinan mereka tetapi karena mereka anggota partai tersebut. Karenanya, mereka sulit berinteraksi dan mengadakan pendekatan dengan rakyat. Maka keberadaan jam-'iyah (organisasi sosial) atau partai semacam ini seperti pengaduk-adukan lumpur, menciptakan kesulitan-kesulitan baru. Kesulitan ini menambah kesulitan yang sudah ada, yang membuat masyarakat semakin kepayahan (keblinger). Bagaikan orang yang telah kepayahan membawa beban di pundaknya kemu¬dian beban itu ditambah lagi dengan beban yang baru.
Oleh karena itu dapat dikatakan, setelah mempelajari, memikirkan dan mengkaji masalah-masalah kutlah ini, bahwa di seluruh negeri Islam belum muncul suatu kutlah yang benar selama abad silam yang mampu membangkitkan umat. Semua kutlah yang ada telah mengalami kegagalan karena didirikan di atas dasar yang keliru. Padahal umat ini tidak akan bangkit kecuali dengan sebuah kutlah. Lalu, apa kriteria sebuah kutlah yang benar yang mampu membangkitkan umat ? Inilah yang ingin kami jelaskan.
Sesungguhnya kutlah yang benar yang dapat membangkitkan umat tidak boleh berasaskan jam'iyah, yang menetapkan sistem keorganisasiannya bahwa kutlah itu akan melakukan kerja-kerja sosial tertentu dalam bentuk kerja atau perkataan, propaganda-propaganda tertentu, atau hanya melakukan kerja-kerja praktis saja, atau hanya melakukan aktifitas dengan perkataan2) saja. Kutlah semacam tak boleh muncul di ten¬gah-tengah umat yang merindukan kebangkitan. Kutlah-kutlah tidak boleh berdiri atas dasar kepartaian yang bukan berda¬sarkan mabda', seperti yang sudah ada di dunia Islam sejak PD I sampai dengan saat ini.
Suatu kutlah yang benar adalah sebuah kutlah yang berdiri atas dasar kepartaian beridiologi Islam, ruh Islam merupakan ruh bagi bangunan partainya. Fikrah itu merupakan jati diri dan rahasia kehidupannya. Benih awalnya adalah manusia-manusia yang telah menyatu di dalam dirinya fikrah dan thariqah Islam, sehingga merupakan manusia yang mencer¬minkan fikrah itu dalam kebersihan dan Kerja praktis misaln¬ya menyantuni anak yatim, kerja melalui perkataan misalnya aktivitas pendidikan.
kejernihannya ketika berfikir, manusia yang menampilkan thariqah itu dalam langkah-langkahnya yang jelas dan istiqo¬mah.
Apabila terdapat ketiga faktor ini ; fikrah yang dalam, thariqah yang jelas, manusia yang bersih, maka berarti telah tercipta benih utamanya, lalu benih ini akan bertambah banyak menjadi benih-benih berupa halaqoh ula hizb (qiyadah hizb). Apabila halaqoh ula telah terbentuk berarti telah muncul sebuah kutlah Islami itu. Sebab, halaqoh ula terse¬but tidak lama kemudian akan berubah menjadi sebuah kutlah. Pada saat itulah kutlah tersebut akan membutuhkan ikatan kepartaian yang menyatukan orang-orang yang meyakini fikrah dan thariqahnya. Ikatan kepartaian itu adalah aqidah Islam yang terpancar darinya falsafah Hizb, serta tsaqofah yang sejalan dengan mafahim Hizb. Dan pada saat itu terbentuk¬lah sebuah kutlah Hizbiyah (kelompok kepartaian) yang akan mengarungi samudra kehidupan. Kutlah ini akan menghadapi suasana panas dan dingin, ditiup angin badai dan sepoi-sepoi, suasana jernih dan keruh silih berganti. Jika fak¬tor-faktor tersebut di atas telah terpenuhi berarti telah terjadi pengkristalan fikrahnya, telah jelas thariqahnya dan orang-orangnya telah siap, ikatannya telah kuat dan mampu melakukan langkah-langkah praktis dalam kerja dan dakwahnya. Ia sekarang telah berubah dari sebuah kelompok kepartaian menjadi sebuah hizb mabda'iy (partai idiologis) penuh, yang bergerak demi sebuah kebangkitan yang benar. Inilah sebuah kutlah yang benar yang jati dirinya adalah fikrah karena fikrah merupakan tonggak kehidupannya.
Adapun bagaimana munculnya takatul Hizbi mabda'iy (kelompok kepartaian idiologis) di dalam suatu umat yang menghendaki kebangkitan, yang muncul secara alami. Inilah penjelasannya.
Umat merupakan satu tubuh yang tidak terpisah-pisahkan, maka umat dalam bentuk utuhnya adalah seperti manusia. Sebagaimana manusia, apabila ia sakit parah --yang hampir membawanya kepada kematian-- kemudian mulai berangsur-angsur sembuh, maka kesembuhan itu menjalar ke seluruh tubuhnya menyeluruh. Demikian pula umat yang mengalami kemunduran, mereka bagaikan orang yang sakit, apabila kesembuhan itu mulai menyebar di dalamnya maka kesembuhan itu menyebar ke seluruh tubuh umat, karena umat merupakan satu kelompok manusia yang satu. Kehidupan bagi umat adalah fikrah yang disertai thariqah untuk menerapkan fikrah. Dari gabungan keduanya, fikrah dan thariqah, terciptalah mabda', yakni mabda' Islam.
Semata-mata adanya mabda di tengah umat tidaklah cukup untuk membangkitkan kehidupan dalam umat. Tetapi tertunju¬kinya mereka pada mabda', dan ditempatkannya mabda' dalam aktivitas kehidupan merekalah yang menjadikan umat itu hidup. Sebab, kadangkala mabda' telah ada di kalangan umat dalam warisan tasyri' (perundang-undangan), tsaqofah, dan sejarah tetapi mereka mengabaikan pengga-bungan antara keduanya. Dalam situasi seperti ini, semata-mata adanya fikrah dan thariqah, tak akan menciptakan kebangkitan.
Kehidupan biasanya akan menjalar pada umat tatkala umat mengalami goncangan yang hebat dalam masyarakat, yang menga¬kibatkan timbulnya rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan ini akan membuat mereka berfikir, menghasilkan berbagai premis sebagai hasil dari pencarian sebab musabab goncangan terse¬but, serta cara-cara yang dekat dan jauh untuk membebaskan diri dari goncangan itu. Premis ini disertai dengan berba¬gai analisanya, secara alami akan menghasilkan sebuah kesim¬pulan benar. Pemikiran semacam ini terus dihubungkan dengan logikanya (alur berfikirnya) yang alami atau dengan premis-premisnya yang disertai dengan penjelasannya. Dengan kesi¬nambungan pengkaitan tersebut akan memperluas aktivitas pemikiran tersebut, sehingga mencakup masa lalu, saat ini dan masa depan umat, sejarah bangsa-bangsa dan umat lain, peristiwa-peristiwa yang terjadi, berbagai pemikiran bangsa-bangsa dan cara-cara kebangkitan mereka, dengan berbagai perbandingan dan mempertimbangkan. Dalam situasi seperti ini akal mendapatkan petunjuk ke mabda' Islam , yaitu fikrah dan thariqahnya, kemudian memahami dan mengimaninya, setelah premis-premis mantiqiyahnya jelas kebenarannya dan kelaya¬kannya (kewenangannya) dan kesimpulannya. Tertunjukinya masyarakat pada mabda' terjadi secara masal dalam jam'ah, karena perasaan/hati nurani mereka membawa ke arah kesimpu¬lan semacam ini.
Hanya saja, sekalipun rasa kebersamaan ini satu dan menyeluruh dalam jama'ah antara individu-individunya, tetapi intensitasnya berbeda pada masing-masing orang, sesuai dengan kemampuan yang diberi Allah kepadanya, sesuai kesia¬pan maksimal yang mereka punyai. Oleh karena itu tertunju¬kinya mereka kepada fikrah itu masih tetap tersembunyi sampai pengaruh itu terakumulasi pada dirinya. Pada awalnya pengaruh itu tertanam pada orang-orang yang mempunyai pera¬saan yang lebih tajam dan tinggi, yang membangunkan mereka, memberi inspirasi pada mereka dan membangkitkan gerak mere¬ka. Maka harga-harga diri (kehidupan) pertama-tama muncul pada orang-orang semacam ini.
Pada mereka yang mempunyai perasaan yang lebih tajam ini tertanam perasaan kejama'ahan yang kuat, terintegrasi fikrah. Maka mereka akan bergerak dengan penuh kesadaran dan pemahaman. Mereka merupakan mutiara-mutiara umat dan kelom¬pok yang sadar dalam umat.
Dan tatkala menyatunya mabda' pada pribadi, ia tidak mampu untuk tetap tersimpan tapi akan mendorong mereka untuk menda'wahkan mabda' tersebut. Maka jadilah kegiatan mereka berinteraksi dengannya sesuai dengan manhajnya dan terikat dengan batasannya, dan jadilah keberadaan mereka demi mabda' dan demi da'wah pada mabda' dan melakukan tugas-tugasnya. Da'wah semacam ini bertujuan agar manusia meyakini terhadap mabda' tersebut yang merupakan satu-satunya mabda' bukan yang lain. Serta bertujuan mewujudkan kesadaran umum mela¬lui mabda', maka berubahlah halaqoh pertama menjadi suatu kutlah lalu berubah menjadi hizb mabda' ini yang akan tumbuh cara wajar dalam dua aspek, yang pertama perbanyakan benih-benih dengan pembentukan benih-benih lain yang meyaki¬ni mabda' atas dasar kesadaran dan pemahaman yang sempurna; kedua pembentukan kesadaran umum melalui mabda' di tengah umat secara keseluruhan dan dari kesadaran umum ini terben¬tuk berdasarkan mabda' tadi penyatuan pemikiran dan penda¬pat, keyakinan di tengah umat dengan penyatuan secara berle¬bih walau bukan merupakan penyatuan secara aklamasi.
Dengan demikian tujuan umat, aqidah umat dan pandangan hidup umat menjadi satu. Dengan cara inilah hizb melebur umat, membersihkannya dari kotoran dan kerusakan yang menye¬babkan kemundurannya atau membersihkannya dari kotoran-kotoran dan kerusakan-kerusakan yang muncul di tengah-tengah umat ketika umat mengalami kemunduran. Proses peleburan inilah yang dilakukan hizb yang akan menciptaan kebangkitan. Ini merupakan suatu pekerjaan berat. Oleh karena itu tak akan mampu melakukannya kecuali sebuah partai yang ia hidup karena fikrah-fikrahnya, menjadikan kehidupannya berdiri di atas fikrah itu, dan mengetahui serta memahami setiap lang¬kah yang harus ditempuhnya.
Itu adalah karena rasa kebersamaan yang membawa kepada sebuah pemikiran hizb, mendorong untuk menyampaikan pemi¬kiran itu ke tengah umat di antara berbagai pemikiran lainnya. Ia menjadi sebuah pemikiran di antara banyak pemikiran yang ada dalam umat. Pada awalnya ia merupakan sebuah pemikiran yang paling lemah, karena ia baru saja lahir, baru eksis, belum tertancap kuat di tengah-tengah umat, ia belum mendapatkan suasana yang cocok baginya. Tetapi karena ia merupakan sebuah pemikiran yang dihasilkan dari sebuah mantiq alihsas (logika perasaan) yakni sebuah pemahaman yang dihasilkan dari pemikiran yang berdasarkan pada pengamatan fakta yang jeli, yang didorong oleh perasaan yang paling dalam, maka ia bisa menciptakan ihsasul fikriy yakni perasaan yang jelas dan benar yang dihasilkan oleh pemikiran yang mendalam. Maka secara otomatis ihsasul fikriy itu akan membersihkan orang-orang yang disentuhnya, memben¬tuk menjadi orang yang ikhlas, sampai-sampai, sekalipun ia tidak ingin ikhlas, ia tidak mampu untuk tidak ikhlas. Pemikiran ini, aqidah dan tsaqofahnya, menyatu pada si mukhlis (pada orang yang ikhlas) ini, membangkitkan sebuah revolusi yang memakar dirinya. Revolusi semacam ini tidak lain merupakan sebuah ledakan api setelah adanya pembakaran dalam perasaan dan pemikiran yang akan menyebarluaskan da'wah, api, keinginan dan semangat, dan kejujuran dalam dak'wah, dalam waktu yang sama juga meluaskan logika pera¬saan dan pemikiran yang mendalam itu yang menjadi api yang membakar kerusakan dan cahaya yang menerangi jalan perbai¬kan. Dengan ini, posisi da'wah dalam pergulatan dengan pemikiran-pemikiran yang rusak, aqidah yang bobrok/lapuk, tradisi-tradisi yang menghambat kemajuan. Pemikiran, aqidah dan adat itu berusaha mempertahankan dirinya akan tetapi mempertahankannya diri berarti berbenturan dengan mabda baru yang makin kuat. Dan hal ini tak akan berlangsung kecuali dalam waktu yang singkat. Semua pemikiran aqidah dan tradi¬si itu akan musnah dan tinggallah mabda Hizb satu-satunya dalam umat, yaitu fikrah hizb menjadi fikrah umat dan aqidah hizb adalah aqidah umat.
Apabila Hizb telah menyatukan pemikiran, kebiasaan-kebiasaan dan pendapat-pendapat, berarti hizb telah mencip¬takan persatuan umat luar dalam, meleburnya dengan Islam, dan membersihkan dari kotoran, maka jadilah umat yang satu. Dengan demikian lahirlah persatuan yang benar.
Kemudian mulailah hizb memasuki tahap kedua, yaitu memimpin umat melakukan aktivitas perbaikan yang revolusion¬er untuk membangkitkan umat, dan kemudian bersama-sama dengan umat mengemban risalah Islam kepada berbagai bangsa dan umat lain untuk melaksanakan kewajibannya pada kemanu¬siaan.
Kelompok kepartaian seperti ini merupakan harokah jamaiyah (gerakan berkelompok), dan ini tidak mungkin kecua¬li dengan cara gerakan berkelompok. Sebab, kutlah atau kelompok yang benar bukanlah merupakan gerakan individual. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi aktivis partai-partai Islam di negeri-negeri Islam, untuk membahas gerakan berkelompok ini secara teliti dan memahami secara mendalam.
Pemahaman terhadap Harokah Jamaiyah yang mempunyai pengaruh kuat pada masanya menunjukkan pada kita bahwa Harokah tersebut tidak lahir ketika kesenangan gampang dicapai,hak-hak alami manusia terpenuhi, kesejahteraan tercapai dan kecukupan kebutuhan-kebutuhan pribadi dijadikan tolok ukur pentingnya sesuatu hal dalam kehidupan rakyat. Pemahaman akan pemikiran semacam ini memungkinkan kita mengukur setiap Harokah Jamaiyah dengan neraca yang sama, dengan mengkaji lingkungan masa lampau di mana gerakan tersebut hidup, situasi yang mempengaruhi dan dipengaruhin¬ya, dan sejauh mana kegiatan para individu yang telah terbu¬ka hatinya itu, yakni para aktivis Harokah dalam melakukan aktivitasnya, memudahkan kepentingannya dan dalam mengatasi hal-hal yang menghambat keberhasilannya atau menghambat laju gerakannya.
Keberhasilan Harokah diukur dengan kemampuannya untuk membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) pada rakyat, dan mendorong mereka untuk menampakkan ketidaksenangan/kemarahan itu setiap kali menemukan penguasa atau sistem yang berkuasa, menyinggung mabda, mempermain¬kannya sesuai dengan kepentingan penguasa dan hawa nafsunya.
Untuk memahami gerakan berkelompok ini kita harus mempelajair kehidupan dalam masyarakat dan mengetahui hubun¬gan umat dengan para penguasanya, hubungan penguasa-penguasa itu dengan umat, dan sikap mereka masing-masing (umat dan penguasa) dan hakekatnya yang benar dalam pandangan Islam, pendapat dan pemikiran, hukum-hukum yang mereka propaganda¬kan, ukuran-ukuran yang dipakai oleh masyarakat, perubahan, pergantian, dan ijtihad apa yang ditawarkan oleh pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan ijtihad itu pada masyara¬kat. Perlu juga diketahui hakekat ijtihad itu dalam masalah furu' dan ushul, apakah diakui Islam atau tidak. Begitu pula kita harus memahami dengan meneliti keadaan nafsiyah (kejiwaan) pada umat dan mengetahui pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran serta hukum-hukum Islam yang hilang dalam kehidupan dunia di mana mereka hidup, di mana sistem kehidupan lain, sistem pemerintahan lain dipaksakan atas mereka dengan pedang, makar dan uang.
Demikian pula untuk memahami harokah kita harus menge¬tahui kecenderungan umat secara umum, pandangan umat terha¬dap berbagai sistem yang diterapkan terhadap mereka, yang mengakibatkan punahnya Islam, yang akan menjerumuskan mereka ke lembah kesengsaraan dan kegundahan. Juga kita perlu mengetahui kecenderungan para pemikir di kalangan umat dan sejauh mana keterlibatan mereka dengan sistem yamg rusak yang diterapkan atas mereka, apakah sistem itu membangkitkan rasa jengkel/kebencian mereka atau tidak, dan mengetahui sejauh mana terpengaruhnya mereka oleh rayuan dan ancaman, dan sejauh mana mereka terseret oleh rayuan tersebut atau ketundukannya terhadap ancaman itu.
Lalu mengenal kelompok kepartaian itu sendiri dan meyakinkan diri bahwa kutlah tersebut mempunyai perasaan (daya tanggap) yang peka, pemikiran yang mendalam, dan orang-orang yang ikhlas, dan bahwa semua kejadian yang trjadi di masyarakat tidak melemahkan keimanannya terhadap Islam serta syari'atnya, dan bahwa semua rayuan dan ancaman dan penakut-nakutan, ujian dan cobaan sedikitpun tidak mempengaruhinya. Lalu meyakinkan diri bahwa kutlah tersebut selalu menjaga nilai-nilainya sendiri dengan sempurna. Juga perlu dipastikan bahwa wilayah keimanannya aman, kebutuhan mereka akan pemikiran-pemikiran Islam yang mendalam terpenu¬hi, apakah mereka memperhatikan kepentingan umum, apakah mereka punya rasa tanggung jawab sempurna, yaitu dengan menempatkan mabda dalam benteng yang kokoh terhadap ketida¬kadilan, kesewenangan, kekerasan, dan intimidasi penguasa. Kemudian dipastikan pula bahwa golongan ini telah memantap¬kan tekadnya untuk memikul tanggung jawab, dengan memperhi¬tungkan semua akibat, dan kesiapannya untuk memikul tanggung jawab itu.

Pengkajian terhadap berbagai harokah jamaiyah ini, sejarah dan faktanya, akan membawa kita mengetahui hakekat perjalanan Hizb mabda'iy (sebuah partai politik berbasis ideologi), apakah harokah tersebut memenuhi syarat sebagai gerakan berkelompok , dan berjalan dengan thariqahnya yang alami, sehingga jika terdapat di dalammya kesalahan atau ternyata berdasarkan pengkajian menunjukkan keharusan peru¬bahan dalam struktur keorganisasian, atau luwes dalam ber¬gerak; atau keras dalam interaksinya, maka gerakan itu akan memakai suatu uslub atau cara yang menjamin pelaksanaan tugasnya yakni membangkitkan umat, untuk menjadikan umat ini sebagai pengemban risalah terhadap semua bangsa dan umat lainnya.
Proses pembentukan sebuah partai politik agar ia menja¬di sebuah kelompok politik yang benar haruslah mengikuti petunjuk di bawah ini.

1. Mendapat petunjuk untuk memahami mabda. Seseorang yang mempunyai kemampuan berpikir yang baik dan perasaan yang tajam akan mendapat petunjuk untuk memahami mabda'. Maka ia berinteraksi dengan mabda' dan mabda' itu menjadi sangat jelas baginya sampai mabda' itu mengkristal di dalam dirinya. Pada saat itulah muncul benih pertama dari partai itu. Tidak berapa lama kemudian benih tersebut lambat laun semakin banyak. Kemudian muncul orang-orang lain, mereka bergabung membentuk benih-benih atau semacam jaringan yang satu sama lain berhubungan berdasarkan mabda itu. Maka pada saat itu terbentuklah halaqoh 'ula (halaqah pertama) dari kelompok kepartaian ini. dan halaqah 'ula ini merupakan qiyadatul Hizb (pimpinan hizb). Mabda merupakan satu-satunya sumbu putar keorga¬nisasian kelompok ini, dan juga merupakan satu-satunya kekuatan yang menarik mereka untuk berkumpul di sekitar mabda' itu.

2. Anggota Halaqoh 'Ula ini biasanya berjumlah sedikit dan geraknya lamban pada mulanya karena meskipun ia mengung¬kapkan perasaan masyarakat tempat hidupnya , akan tetapi slogan-slogan dan pemahaman yang disampaikannya, sering kali berlawanan dengan apa yang biasa didengar masyara¬kat. Kelompok ini mempunyai pemahaman-pemahaman baru yang berlawanan dengan pemahaman-pemahaman masyarakat awam, sekalipun slogan-slogan dan makna-makna merupakan ungkapan dari perasaan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu halaqoh 'Ula tersebut seakan-akan terasing dari masyarakat dan tidak akan bergabung ke dalamnya kecuali orang-orang yang mempunyai perasaan (nurani) yang kuat (tajam) sampai pada suatu batas tertentu di mana tercipta kecenderungan seseorang untuk tertarikan pada magnet mabda' yang telah menyatu pada halaqoh 'Ula terse¬but.

3. Biasanya pemikiran Halaqah 'Ula tersebut mendalam, metode kebangkitannya mendasar, atau bermula dari aspek yang mendasar. Oleh sebab itu halaqah "ula tersebut terangkat dari keadaan yang buruk di mana umat hidup, dia "ter¬bang" di alam (suasana) yang lebih tinggi. Dia bisa melihat realita masa depan yang harus dicapai oleh umat atau mampu melihat kehidupan baru di mana umat harus mampu diubah ke arah keadaan tersebut, sebagaimana ia juga melihat jalan yang harus dilewatinya dalam mengubah realita tersebut. Oleh sebab itu ia mampu melihat sesua¬tu (yang tersembunyi) di balik dinding/tabir pada saat kebanyakan orang hanya melihat kulit luarnya saja. Karena masyarakat yang ada terikat dengan keadaan buruk yang ia juga hidup di dalamnya, ia sulit untuk "terbang", dan sulit pula baginya untuk merubah realita itu secara benar. Sebab, masyarakat yang terbelakang pemikirannya dangkal, mereka hanya menilai sesuatu pada fakta apa adanya saja, kemudian mengkiaskan segala sesuatu dengan fakta tersebut dengan cara pukul rata dan keliru. Mereka mengatur diri mereka sesuai dengan hasil pengkiasan tersebut yang mereka lakukan itu. Oleh karena itu mereka menempatkan manfaat yang mereka inginkan beredar bersama dengan standar yang mereka ukur dengan fakta itu.
Adapun halaqah 'ula, pemikirannya tidaklah dangkal lagi, mereka sudah mendekati batas kesempurnaan. Mereka menja¬dikan realita sebagai objek pikiran, untuk diubah sesuai dengan mabda', tidak menjadikan realita sebagai sumber pemikiran dengan mencocokkan mabda dan kenyataan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengubah keadaan itu, membentuk serta mendudukkannya sesuai dngan kehendak mereka agar keadaan itu menjadi sesuai dengan mabda' yang mereka yakini, bukan menyesuaikan/mencocok-cocokkan mabda' dengan keadaan itu. Oleh sebab itu terdapat perbedaan pemahaman yang tajam antara halaqah 'ula dengan masyara¬kat daalam pandangan mereka mengenai kehidupan. Di sinilah dibutuhkan pendekatan terhadap masyarakat.

4. Pemikiran halaqah 'ula (al qiyadah) bertumpu pada suatu kaidah yang tetap, yaitu bahwa fikrah harus berkaitan dengan aktivitas (amal) dan bahwa pemikiran dan amal haruslah sesuai dngan tujuan yang ingin dicapai. Oleh sebab itu, dengan menyatukan mabda di dalam diri mereka dan dengan bersandarnya mereka pada suatu kaidah, mencip¬takan suatu suasana keimanan yang tetap. Hal ini memban¬tu mereka dalam menundukkan dan mengubah keadaan atau realita. Sebab pemikiran tersebut tidak terbentuk dari realita, bahkan keadaan itu sendirilah yang kemudian terbentuk sesuai dengan kehendak mereka. Berlainan dengan masyarakat terbelakang, masyarakat terbelakang tidak mempunyai dasar berfikir, karena mereka tidak mengetahui tujuan mereka berfikir dan beramal. Tujuan-tujuan individu pada masyarakat seperti ini bersifat sementara dan sangat indiviualis. Oleh sebab itu tidak ditemukan adanya suasana keimanan. Mereka dikuasai oleh keadaan, bukan membentuk keadaan sesuai dengan kehendak mereka. Oleh sebab itu akan terjadi benturan-benturan antara halaqah 'ula dengan masyarakat pada awal mereka saling berinteraksi.

5. Dan karena kewajiban halaqoh al-hizbiy al-ula ( al-qiya¬dah ) menciptakan suasana keimanan yang mengharuskan mereka mengikuti metode berpikir tertentu, maka ia harus¬lah melakukan gerakan terarah, untuk mengembangkan dirin¬ya secara cepat, untuk memurnikan suasana iman dengan sempurna sehingga ia mampu membangun tubuh partainya dengan baik, secepat kilat dan agar mampu berubah dengan perkembangan yang cepat, dari "halaqoh hizbiyah" ke "qutlah hizbiyah" (kelompok kepartaian), untuk kemudian menjadi sebuah partai sempurna, yang mewajibkan dirinya terjun ke masyarakat untuk menjadi subyek di dalamnya, bukan obyek/kelompok yang terpengaruh oleh keadaan ma¬syarakat.

6. Gerakan-gerakan terarah tersebut terbentuk dengan mempe¬lajari secara sungguh-sungguh keadaan masyarakat, orang-orangnya dan suasananya, dan waspada agar wadah hizb tak disusupi oleh unsur yang merusak, dan agar tak terjadi kesalahan-kesalahan dalam menyusun struktur hizb, yang kelompok itu terukur dengan cara demikian sehingga ia tidak tergelincir pada pandangan selain pandangannya yang benar dan agar ia tidak hancur dari dalam.

7. Aqidah yang mendalam dan teguh, serta tsaqofah hizbiyah yang mendalam adalah pengikat antara anggota partai (Hizb), dan tsaqafah kepartaian yang mendalam menjadi pengikat bagi para anggota hizb dan menjadi undang-undang yang mengendalikan jamaah hizb, bukan undang-undang administrasi yang hanya tertulis di dalam kertas. Cara memperkuat aqidah dan memperdalam tsaqofah dilakukan dengan belajar dan berfikir. Sehingga akal mereka ter¬bentuk secara khas, dan menciptakan pikiran yang berhu¬bungan dengan perasaan. Suasana keimanan haruslah menye¬limuti hizb secara keseluruhan, sehingga pemersatu Hizb adalah dua hal, yaitu hati dan aqal. Oleh sebab itu iman terhadap mabda haruslah ada, sehingga ia bisa menjadi pemersatu pada individu-individu anggota hizb. Kemudian anggota hizb harus mempelajari mabda secara mendalam, menghapalkannya, mendiskusikannya dan memahaminya, se¬hingga pengikat yang kedua adalah aqal. Dengan demikian Hizb telah mempersiapkan dirinya dengan benar dan mempun¬yai ikatan yang kuat yang memungkinkannya selalu tetap kokoh menghadapi setiap goncangan.

8. Qiyadah al Hizb ( halaqoh ula') bagaikan mesin pabrik dari satu sisi, tetapi berbeda dari sisi lain. Perumpa¬mannya sebagai berikut:
Mesin yaang digerakkan gas umpamanya, mempunyai energi panas yang dihasilkan percikan busi, api dan bensin dalam tempat pembakaran. Energi panas ini menghasilkan tekanan gas. Tekanan ini mendorong piston yang menggerakkan mesin, dan menggerakkan seluruh peralatan mesin. Atas dasar ini keberadaan busi, bensin dan putaran mesin merupakan asal usul pergerakan motor. Sebab, adanya tiga hal itu untuk menghasilkan energi panas yang akan mengha¬silkan tekanan dan menggerakkan motor. Apabila putaran mesin berhenti maka berhenti pulalah gerakan alat-alat yang lain. Tekanan menggerakkan bagian lain dari mesin. Dengan demikian adanya busi, bensin dan gerakan motor menghasilkan perputaran mesin dan pergerakan. Seperti itulah qiyadatul hizb (halaqoh ula'). Fikrohnya bagaikan busi, perasaan para anggotanya yang penuh kesadaran bagaikan bensin, dan manusia yang perasaannya terpengaruh oleh fikroh adalah gerakan motor. Atas dasar ini apabila fikroh berhubungan dengan perasaan manusia akan mela¬hirkan energi panas, yang mengerakkan qiyadah untuk bergerak. Gerakan qiyadah tersebut kemudian menggerakkan bagian lain dari hizb (partai), baik individu-individu maupun halaqoh-halaqoh, lajnah Mahalliyah dan lainnya. Semuanya terpengaruh oleh panasnya. Maka bergeraklah semuanya dan berputarlah semuanya seperti berputarnya mesin. Di sini mulailah perjalanan hizb sebagai sebuah gerakan berkembang dengan bentuknya sendiri. Atas dasar ini energi panas dari al qiyadah harus disalurkan ke selurh bagian hizb, sehingga seluruh bagian itu bergerak, sebagaimana gerakan mesin menggerakkan seluruh bagian motor. Inilah sisi kemiripan antara mesin motor dan qiyadah Hizb. Oleh sebab itu, para pemimpin partai tersebut haruslah memperhatikan aspek ini, dan agar mereka menyalurkan hubungan dan gerakan mereka dengan bagian lain Hizb, supaya panas qiyadah dapat mempengaruhi semua anggotanya. Jika ia telah berhubungan beberapa kali, dan melihat bahwa sebagian anggota dan lajnah tidak bergerak kecuali jika digerakkan maka janganlah ia putus asa. Dan ia harus tahu bahwa hal itu adalah sesuatu yang wajar, karena alat-alat tak akan berputar kecuali jika motor atau mesinnya berputar dan panas tersalur darinya.
Hanya saja al qiyadah (halaqotul ula al hizbiyah), per¬gerakan harakah tidaklah otomatis akan menggerakkan hizb secara keseluruhan sebagaiman gerakan piston menggerakkan bagian lain dari mesin pabrik. Tetapi gerakannya hanya mirip gerakan mesin pabrik pada awal gerakannya saja, adapun setelah itu, gerakannya tidaklah demikian. Di sinilah beda antara "alqiyadah" dengan mesin pabrik. Mesin pabrik selalu secara otomatis menggerakkan bagian lain dari alat-alat pabrik itu, sedangkan al qiyadah adalah mesin sosial bukan mesin pabrik. Anggota-anggota, halaqoh-halaqoh, dan lajnah mahalliyah adalah manusia, bukan besi. Mereka manusia hidup dan terpengaruh oleh panasnya "al qiyadah", yaitu bahwa mereka terpengaruh oleh panasnya qiyadah atau dipengaruhi oleh panasnya mabda yang telah menyatu dalam "al qiyadah" (halaqoh ula al hizb). Oleh sebab itu, setelah mereka memahami fikroh dan berhubungan dengan panasnya qiyadah partai, mereka menjadi bagian dari motor partai. Pada saat itulah semata-mata gerakan al qiyaadah saja, karena ada energi panas, mampu membangkitkan gerakan seluruh bagian partai secara alami. Sebab, ia adalah motor sosial, gerakannya menjadi pemikiran yang menyebar luas ke seluruh partai. Pada saat itu bukan hanya qiyadah yang menggerakkan motor, tetapi dengan perkembangan dan sempurnanya pemben¬tukan hizb, seluruh bagian dalam hizb menjadi penggerak motor. Atas dasar ini perjalanan hizb tak membutuhkan gerakan qiyadah, juga tidak membutuhkan penyaluran panas darinya, tetapi mabda' pada anggota hizb, halaqoh-hala¬qoh, dan lajnah-lajnah mahaliyah berjalan secara otomatis tanpa membutuhkan dorongan qiyadah. Sebab, panas seluruh bagian hizb, bersumber dari mabda' dan dari setiap pemi¬kiran yang telah menyebar dikalangan al hizb, dan berhu¬bungan dengan seluruh bagian ini secara alami.

9. Partai ideologis berjalan dalam tiga marhalah, sampai mabdanya diterapkan di tengah masyarakatnya.
Pertama: marhalah belajar dan mengajar untuk mendapatkan tsaqofah alhizbiyah (tsaqafah kepartaian).
Kedua: marhalah tafa'ul (interaksi) dengan masyarakat, tempat hidupnya sampai mabdanya menjadi 'urf 'am (kebia¬saan umum) sebgai hasil dari pemahaman masyarakat akan mabda dan masyarakat menganggap bahwa mabda hizb adalah mabda mereka, sehingga mereka mau membelanya bersama-sama. Pada marhalah ini mulai terjadi pergolakan antara umat dan orang-orang yang menghalangi diterapkannya mabda yaitu para penjajah dan orang-orang yang mereka temapat¬kan di depan mereka seperti kelompok-kelompok penguasa, orang-orang zolim, dan pengikut-pengikut tsaqafah asing, karena mereka telah menganggap bahwa mabda Islam adalah mabda mereka dan hizb adalah pemimpin mereka.
Ketiga : marhalah pengambil-alihan pucuk pemerintahan (kekuasan) melalui umat secara menyeluruh, untuk menjadi¬kan pemerintahan itu sebagai metode untuk menerapkan mabda atas ummat. Dari marhalah ini hizb mulai melakukan aspek amaliyah dalam medan kehidupan, dan aspek dakwah mabda menjadi kerja utama bagi negara dan hizb, karena mabda adalah risalah yang diemban oleh ummat dan daulah (negara).


:048 10. Adapun marhalah awal merupakan marhalah pembentukan pondasi gerakan, itu dilakukan dengan suatu anggapan seluruh individu-individu ummat kosong kebudayan/ tsaqo¬fah apapun. Pada marhalah ini hizb mulai mendidik/membina orang-orang yang mau menjadi anggotanya dengan tsaqofahnya, dan mengganggap bahwa masyarakat adalah sekolah hizb, sehingga dalam waktu singkat mampu mencetak sekelompok orang yang mampu berhubungan dengan jamaah umat untuk berinteraksi dengannya.
Namun demikian perlu diketahui bahwa pembinaan ini bukanlah ta'lim, dan bahwa ia berbeda dengan sekolah secara menyeluruh. Oleh sebab itu, pembinaan dalam halaqoh-halaqoh tersebut haruslah berjalan dengan suatu anggapan bahwa mabda Islam adalah gurunya, dan bahwa ilmu dan tsaqofah yang didapatkan di halaqoh terbatas pada mabda saja, dan ilmu yang diperlukan untuk mengar¬ungi medan kehidupan, dan bahwa ilmu dituntut untuk diamalkan secara langsung dalam medan kehidupan.
Oleh sebab itu pembinaan itu haruslah bersifat amaliyah, yaitu bahwa tsaqofah dipelajari untuk diamalkan dalam kehidupan. Segala sesuatu yang mendinding otak dan aspek amaliyah haruslah disingkirkan, sehingga tsaqofa¬tul hizbiyah tidak mengarah ke pendidikan tsaqafah sekolahan bersifat ilmu (dimana orang menuntut ilmu semata-mata demi ilmu).

11. Hizb adalah kelompok yang berdiri atas fikroh dan thori¬qoh, yaitu atas mabda yang diimani oleh setiap anggotan¬ya. Hizb juga mengontrol ¬pemiki¬r¬an dan perasan masyar¬akat untuk digerakkan dalam sebuah gerakan yang terus meningkat (kualitas dan kuantitasnya). Hizb juga beru¬saha menghalangi munculnya pertentangan (ketidak selara¬san) antara pemikiran dan perasan masyarakat. Hizb adalah sekolah umat yang dididiknya umat, menge¬luarkannya (dari kebodohan), dan mendorongnya untuk mengarungi medan kehidupan internasional. Dia adalah sekolah yang hakiki, yang tidak bisa ditandingi oleh sekolah-sekolah lain walaupun jumlah sekolah-skolah tersebut banyak, punya murid melimpah dan mencakup berbagai bidang ilmu. Hanya saja ada perbaedan antara hizb dan sekolah yang perlu diketahui. Perbedaan terse¬but secara jelas terdapat pada beberapa poin :

1. Bahwa sekolah, sekalipun kurikulumnya benar, tidak bisa menjamin kebangkitan umat tanpa adanya suatu partai di daerah itu --yang menganggap masyarakat sebagai sekolahnya-- yang berjuang di tengah masyara¬kat. Sebab, sekolah pada dasarnya sekalipun mampu membangkitkan "panas" murid-muridnya, mesti mempunyai sifat rutinitas, menyebabkannya berdiri atas suatu bentuk khusus. Sekolah berdiri dengan bentuk khu¬sus, mempunyai sifat khusus, dengan demikian ia kehilangan kemampuan membentuk suatu kenyataan sesuai dengan keinginannya, ia dibentuk oleh keadaan. Jika ia diinginkan mempunyai suatu bentukan khas, ia membutuhkan suatu kegiatan tertentu, waktu tertentu, sampai terjadi suatu ciri khas. Persiapannya berdiri atas suatu dasar yang tetap yang tidak punya bentukan khusus.

2. Jika partai mempunyai rencana tertentu yang benar, ia mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:

a. hidup, yaitu pertumbuhan
b. berkembang, ia berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain
c. bergerak, ia bergerak dalam setiap aspek kehidupan masyarakat dan pada kawasan negeri
d. kepekaan, ia bisa melihat dan merasakan setiap apa yang terjadi dalam masyarakat dan berpengaruh dalam masyarakat itu.

Persiapannya dirancang atas dasar bahwa ia bertugas membentuk kehidupan dan perasaan dalam masyarakat. Pada partai semacam ini selalu terjadi perkembangan dan perubahan yang kontinu. Dia tidak berjalan atas suatu metode rutin, karena ia berjalan bersama kehi¬dupan dan membentuk kehidupan itu dengan suasana keimanannya, merubah realita dan membentuknya sesuai dengan tuntutan ideologi.
3. Sekolah mendidik seseorang, mencerdaskannya, serta memberinya ilmu dengan memandang bahwa ia seorang individu. Sekolah, sekalipun berbentuk suatu komunitas kecil, dari sifat ta'lim sifatnya individual. Oleh sebab itu, hasilnya juga individual tidak bersifat komunitas. suatu kota, misalnya mempunyai penduduk 10 ribu orang, di dalamnya terdapat sekolah yang mendi¬dik ribuan siswa. Maka sekolah tersebut tak mampu mencetuskan sebuah kebangkitan yang bersifat jamaah di dalam kota tersebut.
4. partai mendidik dan membina jamaahnya sebagai sebuah jamaah, tanpa memandang individunya, dan tidak meman¬dang individu-individunya sebagai individu-individu tertentu, tetapi ia memandang individu-individunya sebagai bagian dari jamaah. Maka ia mendidik mereka secara jamaah untuk memperbaiki bagian-bagian jamaah, bukan atas keindividualan mereka. Oleh sebab itu hasilnya bersifat jamaah, bukan individual (orang perorang). Jika kita misalkan sebuah komunitas di suatu wilayah berpenduduk satu juta orang dan di sana terdapat anggota partai 100 orang, maka dia mampu mencetuskan sebuah kebangkitan sedangkan sekolah-sekolah tidak dapat berbuat serupa sekalipun dengan menggerakkan segenap kesungguhan dan dalam waktu yang lama dan telah menelorkan banyak alumnus.
5. Sekolah mempersiapkan individu supaya berpengaruh dalam komunitas tempat hidupnya. Individu tersebut tak akan berpengaruh kecuali secara parsial (hanya pada bidang ilmunya). Sebab ia hanya menguasai bagian tertentu dari kebutuhan masyarakat, yang sedikit pengaruhnya dalam membangkitkan pemikiran.
6. partai mempersiapkan komunitas untuk mempengaruhi indi¬vidu. Jamaah mampu berpengaruh secara menyeluruh, karena perasannya kuat, waspada dan mampu membangun pemikiran. Oleh karena itu pengaruhnya terhadap individu-individunya kuat, dan dia mampu membangkit¬kan mereka dengan sedikit usaha dalam waktu lebih singkat, sebab yang membangkitkan pemikiran itu adalah perasan dan interaksi keduanya melahirkan ke¬bangkitan.
7. Dari keterangan-keterangan diatas dapat disimpulkan 3 perbedan antara partai dan sekolah, yaitu;


a. Sekolah bersifat rutin tak mampu membentuk masyar¬akat , sementara partai berkembang tidak menjalani suatu (mekanisme) rutin, dan mampu membentuk masyarakat dengan suasana keimanannya.
b. Sekolah mendidik sesorang supaya berpengaruh di tengah jamaah, maka hasilnya bersifat individual. Sementara partai mendidik jamaah untuk mempengaru¬hi individu-individu sehingga hasilnya bersifat jamaah.
c. Sekolah mempersiapkan perasan pada individu, untuk mempengaruhi perasan jamaah maka ia tak mampu mempengaruhi jamaah dan membangkitkan pemikiran jamaah. Sementara partai mempersiapkan seluruh segala sesuatu yang bersifat perasan dalam jamaah untuk mempengaruhi perasaan individunya. Maka ia mampu mempengaruhi jamaah dan mampu pula membang¬kitkan pemikiran-pemikiran mereka secara sempurna.


12. Pada marhalah ini haruslah tetap disadari bahwa masyara¬kat secara keseluruhannya adalah sebuah sekolah besar bagi partai. Juga harus tetap disadari bahwa terdapat perbedaan yang besar antara sekolah dan partai dalam halaqoh tsaqofiyahnya (pembinaannya).
Adapun anggapan bahwa masyarakat adalah sekolah bagi partai, adalah karena pekerjan partai pada zaman fatroh ini adalah membangkitkan aqidah yang benar, dan memben¬tuk pemahaman yang shohih. Hal ini tak akan terlaksana, kecuali dengan "Kerja sekolahan". ideologi partai sebagai guru, dan tsaqafahnya sebagai materi-materi pelajaran. ideologi dan tsaqafah ini menyatu dalam diri orang yang telah menyatu dengan ideologinya. Mereka adalah Ustad masyarakat secara langsung, lajnah maha¬liyah dan halaqoh-halaqohnya adalah para staf pengajarn¬ya serta masyarakat secara keseluruhan adalah sekolahn¬ya. "Kerja sekolahan" menggharuskan anggota-anggota partai, yang mengabdopsi pemahaman-pemahaman partai, untuk mempelajari mafahim (pemahaman-pemahaman) partai secara mendalam dan dengan pemahaman yang, mendiskusikan tsaqafah kepartainnya pada setiap kesempatan, dan beru¬saha menghafal dusturnya (UUD), hukum-hukum yang penting serta kaidah-kaidah umum yang telah dia adopsi. Semuan¬ya membutuhkan cara belajar "sekolahan". Oleh sebab itu setiap orang yang menjadi anggota partai, haruslah mempunyai keinginan yang kuat dalam aspek ini tanpa memandang apakah ia sarjana atau hanya lulusan sekolah dasar atau ia hanya seseorang yang siap dididik. Setiap orang yang meremehkan tsaqafah partai siapapun orangnya, adalah tetap di luar lingkaran partai, sekalipun ia telah bergabung ke dalam partai. Karena hal ini bisa membahayakan struktur umum partai. partai harus menahan diri sejauh mungkin dari amal praktis sebelum ia mempun¬yai sejumlah orang yang terdidik dengan tsaqafah hizb. Karenanya marhalah ini disebut marhalah tsaqofiyah (perkaderan).
Adapun perlunya disadari bahwa terdapat perbedaan antara tsaqafah partai dan tsaqafah sekolah adalah agar tsaqafah tersebut tidak berubah dari tsaqafah kepartaian/gerakan menjadi tsaqafah sekolah. Jika ini terjadi , maka partai akan kehilangan vitalitasnya.
Oleh sebab itu harus dibikin suatu dinding tebal antara orang-orang yang bergabung ke dalam partai dan aspek-aspek ilmiah (belajar hanya sekedar untuk mendapatkan ilmu). Perlu juga diperhatikan bahwa tsaqafah hizbiyah (tsaqafah kepartaian) adalah untuk merubah mafahim (pemahaman), dan beramal dalam medan kehidupan, dan untuk memgemban qiyadah fikriyah Islamiyah pada umat. partai tidak boleh mendorong umat untuk belajar hanya demi aspek-aspek ilmiah (sekedar mendapatkan ilmu). Jika ia mempunyai kebutuhan yang bersifat keilmuan maka tempatnya adalah sekolah bukan partai. Dan adalah berba¬haya jika tsaqafahnya dipelajari dari aspek keilmuan saja. Sebab ia akan mencabut vitalitas kerja dan akan menunda dilakukannya (Da'wah) marhalah kedua.

13. Marhalah kedua adalah marhalah interaksi dengan umat, dan disertai dengan pergolakan politik. Marhalah ini dianggap sebagai marhalah yang genting. Keberhasilan da'wah pada marhalah ini merupakan pertanda sehatnya pembentukan partai (partai). Kegagalan pada marhalah ini menunjukkan bahwa ada suatu yang kurang beres dan wajib diperbaiki. Ia dibangun atas marhalah sebelumnya. Keberhasilan pada marhalah pertama merupakan syarat utama untuk berhasil pada marhalah kedua. Hanya saja keberhasilan perkaderan pada marhalah pertama tidak menjamin keberhasilan pada marhalah kedua ini. Keberha¬silan perkaderan/pembinaan harus diketahui oleh masyara¬kat, yaitu masyarakat tahu bahwa ada da'wah Islam di tengah-tengah mereka, dan mereka juga tahu bahwa anggo¬ta-anggota partai adalah mengemban da'wah, dan juga ruh kejamaahan sudah harus terbentuk pada waktu pembinaan di halaqoh-halaqoh, dan anggota partai telah melakukan kontak dengan masyarakat tempat tinggal mereka, serta berusaha untuk mempengaruhi masyarakat , sehingga ketika pindah ke marhalah kedua masyarakat telah mempunyi persiapan kejamaahan. Dengan demikian akan memudahkan anggota-anggota partai berinteraksi dengan umat.

14. Bahwa anggota-anggota partai tidak akan beralih dari marhalah perkaderan (pembinaan) ke marhalah interaksi, kecuali setelah mereka menguasai tsaqafah partai secara mendalam, suatu penguasan yang membentuk nafsyiah Isla¬miyah pada diri mereka, di mana nafsiyahnya sudah berjalan seiring dengan aqalnya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.

Artinya : Tidak beriman sesorang dari kamu, sampai hawa nafsunya tunduk kepada apa yang aku bawa (hukum Islam).

Anggota-anggota partai juga tidak akan pindah ke tahap kedua kecuali setelah masyarakat tahu bahwa ia mengemban dakwah Islam, dan muyul jamaiyah (perasaan kejamaahan) telah kuat pada dirinya serta berbekas pada perbua¬tannya, yaitu dengan keberadannya dalam halaqoh dan interaksinya dengan masyarakat. Itu karena ia telah mencabut dari dirinya sifat uzlah (mengasingkan diri dari masyarakat). Karena uzlah itu merupakan campuran kepengecutan dan keputusasaan, maka ia harus dikikis habis dari individi-individu dan masyarakat.

15. partai pindah dari marhalah pengkaderan/pembinaan ke marhalah interaksi secara alami. Ia tak akan mampu untuk pindah ke marhalah kedua sejak awal karena pada marhalah awal (pembinaan)lah terjadi penyempurnaan nuqtotul ibtida (titik awal da'wah). Sebab, pada pengka¬deranlah ideologi bisa menyatu dengan kader-kader partai dan masyarakat mengetahui adanya da'wah dan ideologi secara jelas. Ketika ideologi telah menyatu secara sempurna dalam diri kader-kader partai, yaitu peleburan ideologi ke dalam jiwa mereka dan masyarakat juga sudah merasakan kehadiran ideologi secara sempurna, maka da'wah telah melewati titik awal dan da'wah harus pindah ke nuqtotul intilaq (titik tolak).
Sehingga ketika partai mulai menjalani nuqtatul intilaq, dia harus mulai menyeru umat. Untuk memulai seruannya dia wajib memulai dengan seruan secara tak langsung, kemudian jika ia berhasil dengan seruan semacam ini, dia berusaha untuk menyerunya secara langsung. Seruan-seruan tak langsung dilakukan dengan: 1. tsaqafah murakkazah (pengkaderan terpadu dalam halaqoh-halaqoh), 2. dengan tsaqafah jama'iyah (materi-materi umum) dimana saja ia mampu, 3. dan dengan membeberkan rencana-rencana penjajah, dan 4. menjelaskan kemaslahatan-kemaslahatan umat yang seharusnya mereka dapatkan.
Jika partai berhasil dalam 4 hal tersebut di atas, dia harus berusaha menyeru umat (secara langsung), dan pindah ke nuqtatul intilaq (titik tolak) secara alami. Perpindahannya ke titik tolak inilah yang memindahkannya secara alami dari marhalah pertama yaitu marhalah peng¬kaderan ke marhalah kedua yaitu marhalah interaksi, dan menjadikannya berinteraksi dengan umat pada saatnya (yang tepat) secara alami.

16. Bahwa interaksi dengan umat adalah penting untuk keber¬hasilan partai dalam mencapai tujuannya. Karena sekali¬pun anggota partai banyak dalam masyarakat, tetapi jika tak berinteraksi dengan umat, mereka tak akan mampu berbuat sesuatu sekalipun mereka kuat, kecuali jika umat bersama mereka. Dan mereka tak akan mampu mengajak umat berbuat sesuatu, dan mendukung mereka kecuali jika mereka berinteraksi dengan umat. Interaksi bukanlah berhasil mengumpulkan umat di sekitar mereka, tetapi yang dimaksud dengan interaksi adalah memahamkan umat akan ideologi partai, supaya menjadi ideologi umat, karena asal ideologinya adalah Islam yang terdapat di kalangan umat, dalam warisan tsaqafah dan sejarahnya, dalam perasaan keseharian mereka. Hanya saja kepekaan umat telah berubah ke dalam pemikiran, hanya dikuasai mengkristal pada kelompok pilihan ini, di mana dari kelompok inilah partai terbentuk.
Kaidah "kepekaan indrawi" ini (yaitu berpikir dan beker¬ja untuk satu tujuan tertentu) merupakan ungkapan hakiki dari ideologi. Oleh sebab itu ideologi (Islam) merupa¬kan perasaan umat yang paling dalam, dan partai adalah pengungkap perasaan tersebut. Jika diungkapkan dengan tepat, dengan bahasa yang jelas, logat yang benar, umat akan memahami ideologi dengan cepat, berinteraksi dengan partai, dan umat secara keseluruhannya menganggap dirin¬ya partai, dan kelompok pilihan ini mengemban kepemimpi¬nan gerakan dengan sebuah kelompok yang bersifat partai (takatul hizby). Gerakan inilah yang menggerakan umat di bawah pimpinan partai pada marhalah ketiga, yaitu marhalah penerapan ideologi secara revolusioner, melalui sebuah pemerintahan yang dikuasai oleh kelompok politik tersebut, karena itulah satu-satunya jalan untuk melak¬sanakan fikrohnya, yaitu dengan menganggapnya sebagai bagian dari ideologi.

Hanya saja, di sana, terdapat berbagai kesulitan yang menghadang di hadapan "wajah" interaksi, yang harus diketahui jenis dan tabiatnya, untuk mengatasi sesuai dengan aturan Islam. Kesulitan-kesulitan tersebut banyak sekali, diantaranya adalah :

1. Pertentangan ideologi (Islam) dengan system yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat.
ideologi partai adalah sebuah system yang baru dalam kehidupan bagi masyarakat sekarang. Dia bertentan¬gan dengan sistem yuang diterapkan atas masyarakat, yang dengannya golongan penguasa memerintah rakyat. Oleh sebab itu para penguasa tersebut akan mendapat¬kan bahwa ideologi ini adalah ancaman atas kelompok mereka dan wadah kekuasaan mereka. Mereka pasti akan menghalangi dan memeranginya dengan berbagai macam cara, dengan propaganda, mengusir para pengem¬ban da'wah, atau dengan menggunakan kekuatan fisik. Oleh sebab itu, hendaklah para da'i ideologi ini --mereka yang berinteraksi dengan umat untuk ber¬da'wah-- pandai-pandai menjaga diri dari siksaan dengan segenap kemampuan, menentang propaganda-propa¬ganda sesat, dengan menjelaskan da'wah mereka, dan siap sedia menanggung segala kesusahan di jalan da'wah ini.
2. Perbedaan tsaqafah (kebudayaan). Dalam masyarakat terdapat berbagai macam tsaqafah dan tersebar berba¬gai macam pemikiran yang bertentangan. Hanya saja mereka masih mempunyai perasaan yang sama. Berbagai macam tsaqafah tersebut, tak terkecuali tsaqafah para penjajah, merupakan ungkapan yang bertentangan dengan perasaan masyarakat. Sementara tsaqafah ideologi (tsaqafah Islamiyah) merupakan ungkapan yang benar dari perasaan-perasaan umat. Walaupun tsaqafah yang menjadi pendapat umum dalam masyarakat dan kerukulum pendidikan di sekolah dan universitas dan seluruh forum tsaqafah, adalah sejalan dengan tsaqafah asing. Demikian pula seluruh gerakan politik dan tsaqafah (kebudayaan) berjalan sesuai dengan tsaqafah asing. Karenanya, partai dalam pembinaannya, haruslah menerjunkan diri menghadapi tsaqafah asing itu dan pemikiran asing tersebut, sampai umat itu mengetahui dengan jelas ungkapan yang benar nurani dan perasaan mereka, sehingga kemudian umat berjalan bersama partai. Dari sini dalam fase ini, mesti terjadi benturan-benturan antara tsaqafah dan pemikiran partai dengan tsaqafah dan pemikiran lainnya. Ben¬turan-benturan pemikiran ini adalah antara anak-anak umat Islam sendiri. Oleh sebab itu tidak boleh dilakukan "debat kusir", tetapi jama'ah partai harus berjalan di atas jalan yang lurus di samping jalan bengkok lainnya. Debat kusir harus dihindari secara mutlak, supaya tidak memuncuklan "ananiyah" yang membutakan mata dan menulikan telinga dari hakikat kebenaran Islam. Bahkan partai harus menjelaskan secara gamblang pemikiran-pemikirannya dan membe¬berkan kepalsuan-kepalsuan pemikiran-pemikiran dan kebatilan tsaqafah lainnya itu, dan akibat-akibatnya yang berbahaya. Pada saat itu umat berpaling dari tsaqafah-tsaqafah asing tersebut dan mengalihkan perhatiannya pada tsaqafah dan pemikiran partai. Bahkan tokoh-tokoh tsaqafah asing tersebut pun akan berpaling kepada tsaqafah dan pemikiran partai, setelah mereka mengetahui kepalsuan-kepalsuannya apabila mereka ikhlas, dan mau membersih diri. Hanya saja tugas/pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling berat bagi partai. Oleh sebab itu interaksi dengan umat di tempat yang di dalamnya banyak tsaqafah asing lebih sulit dibanding tempat-tempat/wilayah-wilayah yang sedikit tsaqifah asingnya, dan kemungki¬nan terjadinya kebangkitan pada wilayah yang sedikit tsaqafah asingnya adalah lebih besar dari wilayah yang di dalamnya banyak tsaqafah asing. Oleh sebab itu partai harus betul-betul mengetahui jamaah yang ingin diterjuninya untuk berinteraksi, untuk mengam¬bil tindakan yang tepat, sesuai dengan keadaan jamaah itu.
3. Adanya Al Waaqiiyin (orang-orang yang realistis) di tengah-tengah umat.
Adanya tsaqafah asing dan racun-racun asing, serta kebodohan di tengah-tengah umat telah memunculkan dua macam kelompok orang-orang realistis di tengah-tengah umat.
Kelompok pertama, adalah "Al waqiiyah/kelompok re¬alistis" yang menyeru kepada realitas, dan untuk idho dengan realitas, tunduk kepada realitas, sebagai suatu keharusan. Sebab, kelompok ini menjadikan realitas sebagai sumber pemikirannya dan memecahkan masalah sesuai dengan realitas yang ada. Satu-satun¬ya cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah dengan berusaha membahas sesuatu secara mendalam dengan mereka, sampai mereka melihat dan menyadari bahwa realitas itu adalah objek pemikiran, yang harus dirubah. Dengan cara ini dimungkinkan untuk melurus¬kan pemikiran kelompok ini.
Kelompok kedua, adalah kelompok orang-orang zholim yang enggan hidup dalam kebenaran, karena mereka bisa hidup enak dalam kegelapan, biasa "cuek" tak peduli orang lain, dan berpikiran rendah. Mereka ini adalah orang-orang yang kena penyakit malas, jasad mereka maupun akal mereka, mereka ini jumud pada moyang mereka, yang mereka warisi dari bapak-bapak mereka, semata-mata dengan alasan karena mereka adalah moyang mereka. Inilah "kelompok realistis" yang sebenarnya. Karena mereka secara faktanya adalah orang-orang berpikiran jumud. Oleh sebab itu untuk menyadarkan kelompok ini perlu usaha yang lebih banyak. Cara mengatasinya adalah berusaha mendidik mereka dan bersungguh-sungguh dengan segala cara untuk memperbaiki pemahaman mereka.
4. Kesulitan lain adalah keterikatan manusia dengan kemaslahatan hidup mereka/kepentingannya. Itu adalah karena manusia terikat dengan kepentingan pribadinya, pekerjaannya sehari-hari, dan pada saat yang sama terikat dengan ideologi. Kadang-kadang kepentingan-kepentingan tersebut bertentangan dengan da'wah Islam. Oleh sebab itu harus dilakukan kompromi antara keduanya. Untuk mengatasi kesulitan ini adalah, wajib atas setiap orang yang meyakini ideolo¬gi ini (Islam) untuk menjadikan da'wah dan partai sebagai titik sentral bagi setiap kepentingan priba¬dinya. Ia tidak boleh sibuk dengan pekerjaan-peker¬jaan yang melupakan dan menghalanginya dari da'wah. Dengan cara ini kepentinagan da'wah akan lebih diuta¬makan dari kepentingan pribadi, di mana da'wah meru¬pakan sumbu putar tempat kepentingan-kepentingan pribadi berputar.

5. Kesulitan lain adalah sulitnya mengorbankan kehidupan dunia berupa harta, perdagangan dan sejenisnya di jalan Islam dan da'wah Islam.
Untuk mengatasi kesulitan ini adalah dengan mengin¬gatkan orang-orang beriman bahwa Allah telah membeli jiwa dan harta mereka dengan sorga, cukup diberi peringatan, kemudian mereka diberikan pilihan dalam berkorban tanpa memaksanya untuk berbuat sesuatu.
6. Kesulitan lain adalah perbedaan tempat tinggal ma¬syarakat. Itu adalah karena ada umat yang tinggal di pusat kota, ada yang di desa, ada yang hidup mengem¬bara (badui). Alat-alat yang dipakai di kota berbeda dengan yang dipakai di desa, yang di desa pun berbeda dengan alat yang dipakai di perkampungan dan kemah-kemah badui. Oleh sebab itu, kadangkala perbedaan bentuk-bentuk materi ini memunculkan pemikiran untuk membedakan pembinaan umat dan pengarahan mereka dalam memperjuangkan ideologi. Ini sangat berbahaya, karena umat sekalipun berbeda bentuk-bentuk materinya, adalah umat yang satu, perasaan dan pemikirannya satu, ideologinya satu. Oleh karena itu da'wah terhadap umat harus satu, tak ada perbedaan antara kampung dan kota, dan kerja-kerja interaksi dengan umat adalah juga satu.


Dalam marhalah kedua ini partai menghadapi dua bahaya, yaitu bahaya yang bersifat ideologis dan bahaya Jabatan. Adapun bahaya ideologis datang dari arus jama'ah, dan kein¬ginan untuk memenuhi permintaan umat yang bersifat temporer dan nyinyir, dan juga datang dominannya kegagalan yang telah terpatri dalam pendapat jama'ah atas pemikiran-pemikiran kepartaian.
Hal itu disebabkan karena ketika partai mengarungi lapangan kehidupan dalam masyarakat, berhubungan dengan massa untuk berinteraksi dengannya, untuk memimpin mereka, dan pada waktu partai membekali mereka dengan ideologi partai, pada massa itu telah ada pertentangan pemikiran-pemikiran kuno, warisan-warisan generasi masa lalu, pemikir¬an-pemikiran asing yang berbahaya, dan ketaklidan pada kafir penjajah. Maka ketika partai melakukan aktivitas tafa'ul (interaksi) dengan massa, membekali mereka dengan pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat partai, dan berusaha memper¬baiki pemahaman-pemahaman mereka, membangkitkan aqidah Islamiyah dalam diri mereka, menciptakan suasana yang benar, kebiasaan umum yang baik dengan pemahaman-pemahaman partai. Semuanya ini membutuhkan dakwah, propaganda, sehingga umat berkumpul di sekitar partai atas dasar ideologi, dalam bentuk memperkuat iman kepada ideologi di tengah-tengah umat, dan menghembuskan di dalamnya kepercayaan akan mafahim partai, sikap memuliakan dan memperhitungkan partai, dan membawa mereka untuk ta'at dan beraktivitas bersama partai. Pada saat itu, maka kewaajiban partai adalah memperbanyak syababnya yang beriman yang dipercaya umat terjun di tengah-tengah umat, mengendalikan para pemimpin mereka, seperti perwira di kalangan militer. Jika partai berhasil dalam marhalah tafaul ini, partai akan memimpin umat kepada tujuan yang diinginkannya, sesuai dengan batas-batas ideologi, dan mengamankan kereta agar tidak keluar dari relnya.
Adapun apabila partai memimpin masa sebelum sempurna tafa'ul dengannya, dan sebelum tercipta kesadaran umum pada umat, maka kepemimpinannya bukan dengan hukum-hukum dan pemikiran-pemikiran dari ideologi, tetapi dengan membangkit¬kan apa yang bergelora di dalam jiwa umat, dengan membang¬kitkan perasaannya, dan menggambarkan bahwa tuntutan mereka akan terpenuhi dalam waktu dekat. Dengan itu partai memuas¬kan massa dengan membangkitkan perasaannya, menggambarkan bahwa tuntutan mereka bisa dipenuhi dalam waktu dekat.
Pada marhalah kedua ini partai menghadapi dua bahaya, yaitu bahaya yang bersifat ideologis dan bahaya "Klas". Adapun bahaya ideologis datang dari arus jama'ah, dan kein¬ginan umat agar permintaan mereka yang bersifat temporer dan nyinyir (ngoyo , Jawa) dipenuhi, dan juga bersumber dari munculnya perasaan bahwa fikroh kepartaian partai adalah fikroh yang gagal, di mana perasaan ini telah mendominasi kalangan jama'ah.
Hal itu disebabkan karena ketika partai mengarungi lapangan kehidupan dalam masyarakat, berhubungan dengan massa untuk berinteraksi dengannya, untuk memimpin mereka, dan pada waktu partai membekali mereka dengan ideologi partai, di tengah-tengah umat telah ada pertentangan pemi¬kiran-pemikiran kuno, warisan-warisan generasi masa lalu, pemikiran-pemikiran asing yang berbahaya, dan ketaklidan pada kafir penjajah. Maka ketika melakukan aktivitas tafa'ul (interaksi) dengan massa, partai berusaha membekali mereka dengan pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat partai, dan berusaha memperbaiki pemahaman-pemahaman mereka, membang¬kitkan aqidah Islamiyah dalam diri mereka, menciptakan suasana yang benar, kebiasaan umum yang baik dengan pemaha¬man-pemahaman partai. Semuanya ini membutuhkan dakwah dan propaganda, sehingga umat berkumpul di sekitar partai atas dasar ideologi. Gunanya untuk memperkuat iman kepada ideolo¬gi di tengah-tengah umat, dan membangkitkan kepercayaan umat akan mafahim partai, menimbulkan sikap memuliakan dan mem¬perhitungkan partai, dan mempersiapkan mereka untuk ta'at dan beraktivitas bersama partai. Pada saat itu, maka kewaji¬ban partai adalah memperbanyak syababnya yang beriman yang dipercaya umat terjun di tengah-tengah umat, mengendalikan para pemimpin mereka, seperti perwira di kalangan militer. Jika partai berhasil dalam marhalah tafaul ini, partai akan memimpin umat kepada tujuan yang diinginkannya, sesuai dengan batas-batas ideologi, dan mengamankan kereta agar tidak keluar dari relnya.
Adapun apabila partai memimpin masa sebelum sempurna tafa'ul dengannya, dan sebelum tercipta kesadaran umum pada umat, maka kepemimpinannya bukan dengan hukum-hukum dan pemikiran-pemikiran dari ideologi, tetapi dengan membangkit¬kan apa yang bergelora di dalam jiwa umat, dengan membang¬kitkan perasaannya, dan menggambarkan bahwa tuntutan mereka akan terpenuhi dalam waktu dekat. Dengan itu partai memuas¬kan masa dengan membangkitkan perasaannya, menggambarkan bahwa tuntutan mereka bisa dipenuhi dalam waktu dekat. Hal ini dilakukn partai dengan berulang-ulang sampai mereka tunduk pada partai, kemudian partai memimpin mereka secara masal. Maka pada saat itu mereka berjalan bersama partai dengan perasaannya, bukan dengan akal dan kesadarannya, dan anggota partai adalah pemimpin kelompok masyarakat ini. Hanya saja kelompok ini, dalam keadaan ini, tak terlepas dari perasaannya semula seperti patriotisme, nasionalisme, ruhiyah, kependetaan, dan keadaan jamaah mempengaruhinya. Maka pada saat itu akan muncul 'an'anat (kebanggaan akan asal-usul) rendahan seperti golongan-golongan dan madzhab-madzhab dan pemikiran kuno seperti kemerdekaan dan kebeba¬san, keangkuhan-keangkuhan yang merusak seperti unshuriyah (keunsuran) dan kekerabatan/kekeluargaan. Maka muncullah pertentangan antara mereka dan partai karena mereka memaksa¬kan kepada partai tuntutan-tuntutan yang tidak sesuai dengan ideologi, dan menyerukan tujuan-tujuan temporer yang memba¬hayakaan umat. Mereka sangat ingin tuntutan itu dipenuhi, keinginan mereka untuk terpenuhi bertambah-tambah dan muncul pula di sini keangkuhan-keangkuhan yang bermacam-macam. Dalam keadaan ini partai berada di antara dua api. Pertama berhadapan dengan kemarahan dan kebencian umat serta kehan¬curan kekuasaannya atas jamaah. Kedua adalah berhadapan dengan terlepasnya partai dari ideologi dan menggampangkan sesuatu yang ada di dalamnya. Kedua hal ini berbahaya bagi partai. Oleh karena itu jika berhadapan dengan dua hal ini -'kelompok masyarakat atau ideologi - hendaklah partai berpegang teguh pada ideologi, sekalipun harus berhadapan dengan kebencian umat, karena kebencian itu adalah kebencian sementara. Keteguhan mereka pada ideologi akan mengembali¬kan kepercayaan umat. Mereka harus berhati-hati agar tidak menyalahi ideologi dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip (mutiara) ideologi walau sehelai rambut. Karena ideologi adalah kehidupan (nyawa) partai, ideologilah yang menjamin kelestarian partai. Untuk menjaga diri dari situasi genting ini dan untuk menghindarikan bahaya ini hendaklah partai bersungguh-sungguh "memberi minum" umat dengan ideologinya, menjaga kejelasan fikrah dan pemahamannya, dan berusaha untuk menjaga kelestarian fikrah dan pemahamannya yang telah tertancap di dalam umat. Hal ini dimungkinkan dengan mela¬kukan pembinaan secara cepat, memperhatikan tatsqif jamaiy lebih besar, lebih bersungguh-sungguh dalam mengungkapkan rencana kafir penjajah secara mendalam, selalu memperhatikan umat dan kemaslahatannya, melebur umat dengan ideologi dan partai secara sempurna, dan selalu meneliti pemikiran partai dan pemahamannya agar tetap bersih. Semuanya itu harus dilakukan dengan segenap kemampuan yang ada, berapapun kesungguhan dan usaha yang harus dilakukan. Adapun bahaya 'kelas' adalah suatu bahaya yang mungkin menimpa para aktivis partai, bukan pada umat. Itu adalah karena ketika partai menjadi wakil umat atau mayoritas umat, ia mempunyai tempat terhormat, posisi terpandang di kalangan umat dan pengagungan yang sempurna dari umat, khususnya dari semua orang. Hal ini kadangkala menghembuskaan tipuan dalam jiwa mereka maka aktivis partai merasa bahwa mereka lebih tinggi dari umat dan bahwa yang mereka pentingkan adalah kepemimpinan dan kepentingan umat adalah bahwa mereka dipim¬pin (perlu dipimpin). Maka pada saat itu mereka meninggi¬kan/menyombongkan diri atas individu-individu umat atau sebagian dari mereka, tanpa melihat bahayanya. Apabila hal ini berulang-ulang maka umat merasa bahwa partai adalah suatu kelas lain dan aktivis partai pun merasakan semua itu. Munculnya hal ini adalah awal kehancuran partai karena itu akan melemahkan semangat partai untuk mempercayai orang-orang kebanyakan dari umat dan melemahkan kepercayaan dari kelompok umat itu terhadap partai. Maka pada saat itu umat mulai berpaling dari partai.
Apabila umat telah berpaling dari partai, berarti partai telah hancur, dan ini membutuhkan usaha yang berlipat ganda untuk mengembalikan kepercayaan umat sampai keper¬cayaan ittu kembali. Oleh karena itu hendaklah para aktivis partai bersikap seperti individu-individu umat kebanyakan, dan agar mereka tak merasa kecuali bahwa mereka adalah pelayan umat, dan bahwa tugas mereka adalah melayani umat. Sebab, hal itu akan memberi mereka kekuatan dan keuntungan besar lainnya, bukan hanya dengan terpeliharanya kepercayaan mayoritas umat pada mereka , tapi juga sangat bermanfaat bagi mereka pada marhalah ketiga, ketika menguasai pemerin¬tahan, untuk menerapkan ideologi. Maka pada saat itu --sebagai penguasa-- mereka menjadi pelayan umat, sehingga mudah bagi mereka menerapkan ideologi.

18. Marhalah Ketiga, yaitu marhalah pengambilalihan pemer¬intahan.
partai mengambil alih pemerintahan adalah melalui umat dan menerapkan ideologi sekaligus. Inilah yang disebut metode revolusi. Metode ini tak membolehkan partai berga¬bung ke dalam pemerintahan yang menerapkan hukum Islam secara parsial, tetapi mengambilalih pemerintahan secara total dan menjadikannya satu-satunya metode penerapan ideol¬ogi, bukan tujuan dari perjuangan. Metode ini mengharuskan penerapan ideologi Islam secara revolusioner, tidak membo¬lehkan penerapan ideologi secara bertahap, bagaimanapun keadannya.
Apabila daulah telah menerapkan ideologi secara sempur¬na dan menyeluruh maka wajib bagi daulah itu untuk mengemban dakwah Islam dan menetapkan dalam Anggaran Belanja Negara bagian khusus untuk dakwah dan propaganda, mengatur dakwah dari sisi kenegaraan atau dari aspek kepartaian sesuai dengan situasi yang ada. Sekalipun partai telah berhasil mendirikan pemerintahan Islam, dia tetap bertindak sebagai partai, strukturnya tetap ada, baik para anggotanya mendudu¬ki kursi pemerintahan atau tidak. partai menganggap pemer¬intahan adalah awal langkah praktis untuk melaksanakan ideologi dalam negara, dan berusaha menerapkannya di setiap penjuru dunia.
Inilah langkah-langkah yang ditempuh oleh partai di dalam medan kehidupan, untuk membawa fikrah ke periode kerja praktis atau dengan kata lain untuk membawa ideologi ke medan kehidupan dengan melanjutkan kehidupan Islam, untuk membangkitkan masyarakat dan mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Pada saat inilah partai memulai kerja praktis yaitu suatu periode yang ia dirikan untuk mewujudkan periode itu. Atas dasar ini maka partai adalah jaminan hakiki untuk berdirinya daulah Islamiyah dan kelestariannya, dan untuk menerapkan Islam, memperbaiki penerapannya, dan kelestarian penerapannya dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Sebab setelah Daulah Islam itu berdiri, partai menjadi pengawas batas daulah itu, mengoreksinya, dan memim¬pin umat untuk membicarakan beberapa masalah dengannya, dan pada saat yang sama partai menjadi pengemban dakwah Islam di negeri-negeri Islam dan penjuru dunia lainnya (TAMAT).

Sabtu, 17 Januari 2009

Partai Politik Ideologi Islam

Mengenal Hizbut Tahrir

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Hizbut Tahrir lahir pada tahun 1953 di Al Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Gerakan yang concern pada perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dibidani oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, seorang ulama alumni Al Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina.
Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libia, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya hingga ke AS, ke Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, hingga ke Australia.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada dekade tahun 1980-an dan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di perkantoran, pabrik, dan perumahan.
Pada tahun 2000, Hizbut Tahrir muncul di muka publik Indonesia dengan menyelenggarakan Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah di Senayan Jakarta yang dihadiri 5000 orang. Tahun berikutnya Hizbut Tahrir menggugah solidaritas kepada dunia Islam dengan mendemo Kedubes AS atas serangan ke Afghanistan. Juga mengirim delegasi ke berbagai kedubes negara Arab dan Islam menuntut dukungan mereka atas Palestina yang dijajah Israel, serta menuntut mereka menolak bekerjasama dengan AS dalam pendudukan Irak. Terhadap permasalahan dalam negeri Hizbut Tahrir pernah memimpin sekitar 12 ribu massa longmarch dari Monas ke Senayan menuntut penerapan syariah kepada Sidang Tahunan MPR pada tahun 2002. Dan pada 29 Februari 2004 Hizbut Tahrir mengorganisir sekitar 20.000 massa long march dari Monas ke Bunderan Hotel Indonesia Jakarta menuntut tegaknya Syariah dan Khilafah.
Maka sudah saatnya seluruh putra-putri muslim Indonesia, bergabung bersama Hizbut Tahrir untuk berjuang bagi kesatuan dan persatuan kaum muslimin di bawah bendera Laailahaillallah-Muhammadurrasulullah, termasuk Anda.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 18 Maret 2004
Hizbut Tahrir Indonesia
Mengenal
HIZBUT TAHRIR

Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas kehidupan.
Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan). Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya.

Latar Belakang Berdirinya Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah Swt:

]وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ[
“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah Swt dapat diberlakukan kembali.


Tujuan Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum muslimin kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam dan masyarakat Islam. Di mana seluruh kegiatan kehidupannya diatur sesuai dengan hukum-hukum syara’. Pandangan hidup yang akan menjadi pedoman adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islamiyah, yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat dan dibai’at oleh kaum muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Di samping itu Hizbut Tahrir bertujuan membangkitkan kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang cemerlang. Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat ke masa kejayaan dan keemasannya seperti dulu, di mana umat akan mengambil alih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini. Dan negara Khilafah akan kembali menjadi negara nomor satu di dunia—sebagaimana yang terjadi pada masa silam—yakni memimpin dunia sesuai dengan hukum-hukum Islam.
Hizbut Tahrir bertujuan pula untuk menyampaikan hidayah (petunjuk syari’at) bagi umat manusia, memimpin umat Islam untuk menentang kekufuran beserta segala ide dan peraturan kufur, sehingga Islam dapat menyelimuti bumi.

Kegiatan Hizbut Tahrir
Kegiatan Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah Islam untuk mengubah kondisi masyarakat yang rusak menjadi masyarakat Islam. Hal ini dilakukan dengan mengubah ide-ide rusak yang ada menjadi ide-ide Islam, sehingga ide-ide ini menjadi opini umum di tengah masyarakat serta menjadi persepsi bagi mereka. Selanjutnya persepsi ini akan mendorong mereka untuk merealisasikan dan menerapkannya sesuai dengan tuntutan Islam.
Juga dengan mengubah perasaan yang dimiliki anggota masyarakat menjadi perasaan Islam—yakni ridla terhadap apa yang diridlai Allah, marah dan benci terhadap apa yang dimurkai dan dibenci oleh Allah—serta mengubah hubungan/interaksi yang ada dalam masyarakat menjadi hubungan/interaksi yang Islami, yang berjalan sesuai dengan hukum-hukum dan pemecahan-pemecahan Islam.
Hizbut Tahrir telah muncul dan berkembang, kemudian menyebarluaskan aktivfitas dakwahnya di negeri-negeri Arab, maupun sebagian besar negeri-negeri Islam lainnya.
Seluruh kegiatan yang dilakukan Hizbut Tahrir bersifat politik. Maksudnya adalah bahwa Hizbut Tahrir memperhatikan urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar’i. Karena yang dimaksud politik adalah mengurus dan memelihara urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya.
Kegiatan-kegiatan yang bersifat politik ini tampak jelas dalam aktifitasnya dalam mendidik dan membina umat dengan tsaqafah Islam, meleburnya dengan Islam, membebaskannya dari aqidah-aqidah yang rusak, pemikiran-pemikiran yang salah, serta persepsi-persepsi yang keliru, sekaligus membebaskannya dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan kufur.
Kegiatan politik ini tampak juga dalam aspek pertarungan pemikiran (ash shiro’ul fikri) dan dalam perjuangan politiknya (al kifahus siyasi). Pertarungan pemikiran terlihat dalam penentangannya terhadap ide-ide dan aturan-aturan kufur. Hal itu tampak pula dalam penentangannya terhadap ide-ide yang salah, aqidah-aqidah yang rusak, atau persepsi-persepsi yang keliru, dengan cara menjelaskan kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, dan menjelaskan ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut.
Adapun perjuangan politiknya, terlihat dari penentangannya terhadap kaum kafir imperialis untuk memerdekakan umat dari belenggu dominasinya, membebaskan umat dari cengkeraman pengaruhnya, serta mencabut akar-akarnya yang berupa pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam.
Perjuangan politik ini juga tampak jelas dalam kegiatannya menentang para penguasa, mengungkap pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya tatkala mereka mengabaikan hak-hak umat, tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, melalaikan salah satu urusan umat, atau menyalahi hukum-hukum Islam.
Seluruh kegiatan politik itu dilakukan tanpa menggunakan cara-cara kekerasan (fisik/senjata) sesuai dengan jejak dakwah yang dicontohkan Rasulullah saw.
Jadi kegiatan Hizbut Tahrir secara keseluruhan adalah kegiatan yang bersifat politik, baik sebelum maupun sesudah mengambilalih pemerintahan (melalui umat).
Kegiatan Hizbut Tahrir bukan di bidang pendidikan, karena ia bukanlah madrasah (sekolah). Begitu pula seruannya tidak hanya bersifat nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk. Kegiatan Hizbut Tahrir bersifat politik, (yaitu) dengan cara mengemukakan ide-ide (konsep-konsep) Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan, diemban, dan diwujudkan dalam kenyataan hidup dan pemerintahan.
Hizbut Tahrir mengemban dakwah Islam agar Islam dapat diterapkan dalam kehidupan dan agar Aqidah Islamiyah menjadi dasar negara, dasar konstitusi dan undang-undang. Karena Aqidah Islamiyah adalah aqidah aqliyah (aqidah yang menjadi dasar pemikiran) dan aqidah siyasiyah (aqidah yang menjadi dasar politik) yang melahirkan aturan untuk memecahkan problematika manusia secara keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, dan lain-lain.

Metode Dakwah Hizbut Tahrir
Metode yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam mengemban dakwah adalah hukum-hukum syara’, yang diambil dari thariqah (metode) dakwah Rasulullah saw, sebab thariqah itu wajib diikuti. Sebagaimana firman Allah Swt:
[لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا]
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (QS. Al Ahzab : 21)
[قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ]
“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31)
[وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا]
“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)

Dan banyak lagi ayat lain yang menunjukkan wajibnya mengikuti perjalanan dakwah Rasulullah saw, menjadikan beliau suri teladan, dan mengambil ketentuan hukum dari beliau.
Berhubung kaum muslimin saat ini hidup di Darul Kufur—karena diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah Swt— maka keadaan negeri mereka serupa dengan Makkah ketika Rasulullah saw diutus (menyampaikan risalah Islam). Untuk itu fase Makkah wajib dijadikan sebagai tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan meneladani Rasulullah saw.
Dengan mendalami sirah Rasulullah saw di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang sangat jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan nyata tujuan-tujuannya. Dari sirah Rasulullah saw inilah Hizbut Tahrir mengambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini, karena Hizbut Tahrir mensuriteladani kegiatan-kegiatan yang dilakukan Rasululah saw dalam seluruh tahapan perjalanan dakwahnya.
Berdasarkan sirah Rasulullah saw tersebut, Hizbut Tahrir menetapkan metode perjalanan dakwahnya dalam 3 (tiga) tahapan berikut :
Pertama, Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir, dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai.
Kedua, Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah), yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan.
Ketiga, Tahapan Pengambilalihan Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

Landasan Pemikiran Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir telah melakukan pengkajian, penelitian dan studi terhadap kondisi umat, termasuk kemerosotan yang dideritanya. Kemudian membandingkannya dengan kondisi yang ada pada masa Rasulullah saw, masa Khulafa ar-Rasyidin, dan masa generasi Tabi’in. Selain itu juga merujuk kembali sirah Rasulullah saw, dan tata cara mengemban dakwah yang beliau lakukan sejak permulaan dakwahnya, hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah. Dipelajari juga perjalanan hidup beliau di Madinah. Tentu saja, dengan tetap merujuk kepada Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang ditunjukkan oleh dua sumber tadi, yaitu Ijma Shahabat dan Qiyas. Selain juga tetap berpedoman pada ungkapan-ungkapan maupun pendapat-pendapat para Shahabat, Tabi’in, Imam-imam dari kalangan Mujtahidin.
Setelah melakukan kajian secara menyeluruh itu, maka Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang berkaitan dengan fikrah dan thariqah. Semua ide, pendapat dan hukum yang dipilih dan ditetapkan Hizbut Tahrir hanya berasal dari Islam. Tidak ada satupun yang bukan dari Islam. Bahkan tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam.
Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum tersebut sesuai dengan perkara-perkara yang diperlukan dalam perjuangannya—yaitu untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia—dengan mendirikan Daulah Khilafah, dan mengangkat seorang Khalifah. Ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum tersebut telah dihimpun dalam berbagai buku, booklet maupun selebaran., yang diterbitkan dan disebarluaskan kepada umat. Buku-buku itu, antara lain:
1. Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam)
2. Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan dalam Islam)
3. Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam)
4. Nizhamul Ijtima’iy fil islam (Sistem Pergaulan dalam islam)
5. At-Takattul al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik)
6. Mafahim Hizbut Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir)
7. Daulatul Islamiyah (Negara Islam)
8. Al-Khilafah (Sistem Khilafah)
9. Syakhshiyah Islamiyah – 3 jilid (Membentuk Kepribadian Islam)
10. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Politik Hizbut Tahrir)
11. Nadharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir (beberapa Pandangan Politik Hizbut Tahrir)
12. Kaifa Hudimatil Khilafah (Persekongkolan Meruntuhkan Khilafah)
13. Siyasatu al-Iqtishadiyah al-Mutsla (Politik Ekonomi yang Agung)
14. Al-Amwal fi Daulatil Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah)
15. Nizhamul ‘Uqubat fil Islam (Sistem Sanksi Peradilan dalam Islam)
16. Ahkamul Bayyinat (Hukum-hukum Pembuktian)
17. Muqaddimatu ad-Dustur (Pengantar Undang-undang Dasar Negara Islam)
Dan banyak lagi buku-buku, booklet, maupun selebaran yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, baik yang menyangkut ide maupun politik.

Keanggotaan Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir menerima keanggotaan setiap orang Islam, baik laki-laki maupun wanita, tanpa memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab atau bukan, berkulit putih ataupun hitam. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai untuk seluruh kaum muslimin dan menyeru mereka untuk mengemban dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh aturan-aturan Islam, tanpa memandang lagi kebangsaan, warna kulit, maupun madzhab mereka. Hizbut Tahrir melihat semuanya dari pandangan Islam.
Cara mengikat individu-individu ke dalam Hizbut Tahrir adalah dengan memeluk Aqidah Islamiyah, matang dalam Tsaqafah Hizbut Tahrir, serta mengambil dan menetapkan ide-ide dan pendapat-pendapat Hizbut Tahrir. Dia sendirilah yang mengharuskan dirinya menjadi anggota Hizbut Tahrir, setelah sebelumnya ia melibatkan dirinya dengan (pembinaan dan aktivitas dakwah) Hizbut Tahrir; ketika dakwah telah berinteraksi dengannya dan ketika dia telah mengambil dan menetapkan ide-ide serta persepsi-persepsi Hizbut Tahrir. Jadi ikatan yang dapat mengikat anggota Hizbut Tahrir adalah Aqidah Islamiyah dan Tsaqafah Hizbut Tahrir yang terlahir dari aqidah ini. Halaqah-halaqah (pembinaan) wanita dalam Hizbut Tahrir terpisah dengan halaqah laki-laki. Yang memimpin halaqah-halaqah wanita adalah para suami, mahramnya, atau para wanita.

NB: "Dalil tentang wajibnya pengangkatan Khalifah adalah As-Sunnah dan Ijma' Sahabat. Dalil As-Sunnah adalah dalil yang telah diriwayatkan dari nafi' yang berkata : "Abdullah bin Umar pernah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasullulah bersabda : Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di hari Kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan Siapa saja yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada bai'at, maka matinya adalah mati jahiliyah". Imam Muslim meriwayatkan dari Al A'raj dari Abu Hurairah : "Sesungguhnya Imam itu adalah laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung (bagi dirinya)."